I
Rintik air hujan tak terasa telah membasahi kerudungku, habis apa lagi yang akan aku lakukan selain berhujan-hujan ria. Hari telah gelap dan adzan maghrib pun telah berkumandang."ah....bismillahirrahmaanirrahiim". aku langkahkan kakiku karena aku tidak mau kehilangan waktu shalat yang telah aku jaga. insya Allah
"Ade sini....!"
Aku memanggil seorang anak kecil yang menawarkan jasa payung.
"ade kalau ke depan berapa?"
"2000 rupiah teh"
"tolong antar teteh ya de!"
"mangga teh"
Meskipun telah dinaungi sebuah payung jasa namun tetap saja baju dan kerudungku telah basah. Ah.........biarlah asal aku tidak dimarahi oleh Allah-ku.
"ade masih sekolah?"
"ya!"
"kelas berapa?"
"kelas 2 SMP, teh"
"oh.........., ade sudah lama menawarkan payung seperti ini?"
"ya kira-2 sudah 4 tahunan lah teh"
"aduh sudah lama juga ya, disuruh sama mama atau keinginana sendiri?"
"ngga, saya bekerja seperti ini keinginann sendiri, ya...lumayan lah teh uangnya bisa saya tabungkan untuk nambah-nambah uang sekolah"
Pikiranku melayang, "aduh ya Allah sekecil ini telah berani menanggung beban kehidupan dunia padahal, aku saja yang sudah berumur 21 tahun masih merasa berat dengan beban kehidupan ini. Ya allah mudahkanlah rizki ade ini Rabb....."Pikiranku terus melayang memikirkan betapa polosnya pikiran anak ini.
"udah de sampai sini saja, terima kasih ya de, Assalamu'alaikum"
"ya teh, wa'alaikumsalam Wr. Wb"
lalu kulangkahkan kakiku menuju sebuah mobil ngkot yang biasa kutumpangi.
aduh pikiranku terus berdiskusi dengan hati. Aku memikirkan betapa cerdiknya dan betapa gigihnya anak tadi. demi menambah uang sekolah dia rela badannya kebasahan air hujan, beda dengan kehidupanku dulu. Hidupku penuh dengan kemewahan, apapun keinginanku selalu dituruti. Namun semua itu tak pernah aku gunakan sebaik-baiknya. aku hamburkan uang orangtuaku hanya untuk membeli sebuah baju atau celana jeans atau aku belikan dengan mainan-mainan dunia yang tak ada gunanya. Sekali saja keinginanku tidak dituruti, aku langsung kabur dari rumah hingga kedua orangtuaku mencari dengan kewalahan.
II
"Dengan pena yang tumpul ini, aku berusaha menggoreskan
segala perasaanku dan lewat lembaran-lembaran kertas ini aku berusaha berbagai rasaku pada semua orang. Aku harap semua orang tahu. Ku harap, kuharap dan kuharap semua itu.........."
hatiku bertanya, apa yang harus semua orang tahu ? dan apa harapan yang ada dalam hati sang penulis buku yang tengah aku baca ini ?. Pikiranku terus melayang dan terus bertanya-tanya ada apa gerangan dengan perasaan sang pengarang hingga semua orang harus tahu apa yang dirasakannya. Belum sempat pertanyaan itu ku jawab, tiba-tiba saja lamunanku buyar oleh temanku
"hayo bengong, mikirin apa sih ?? mau makan siang bareng nggak?"
" aduh ngagetin banget sih, emang ngga da cara yang lebih halus ya untuk ngajak orang"
"masa sih ngagetin, ya udah aku minta maaf ya cantik...., mau makan bareng nggak?"
" nggak ah..."
"tumben, biasanya kamu yang lebih semangat jika mendengar makan"
"hehe....." aku hanya tertawa kecil, tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutku hingga Nina meninggalkan aku sendiri diruang berAC ini.
ruangan itu kosong, hanya ada aku yang ditemani oleh buku yang masih kupegang. lalu tanpa ragu kubiarkan mata ini untuk menuju kepadanya untuk melihat kembali baris perbaris kalimat yang tertera di dalamnya. Entahlah aku sendiri merasa aneh, kenapa aku jadi senang membaca, padahal sebelum aku menikah, aku bukanlah manusia yang gemar membaca. Jangankan buku-buku pelajaran yang tebal, buku novel ataupun cerpen yang menurut orang lebih seru, aku pun enggan untuk membukanya. namun, setelah aku menikah, Andar, teman SMA ku dulu yang kini jadi suamiku selalu meberikan pemahaman bahwa dengan membaca kita akan melihat dunia meskipun kita belum pernah keliling dunia dan kita akan lebih peka terhadap perasaan orang lain.
"aku adalah seorang manusi yang merasa beruntung, bahkan mungkin yang paling beruntung dari kumpulanm orang-orang yang beruntung"
hatiku beryanya lagi, kok bisa ?. Akhirnya rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
"Lewat perantara sebuah pena, aku minta izin kepada semua orang yang membaca buku ini. izinkanlah aku untuk menceritakan apa yang membuat aku berpikiran bahwa aku adalah orang yang paling beruntung.
Aku adalah seorang anak yang terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Dulu ayahku hanyalah seorang tukang becak yang berpenghasilan tidak menentu, tapi hanya untuk mendapatkan sesuap nasi untuk keluarganya, beliau tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berputus asa. Hujan dan panas bukanlah hal yang dapat mengghalangi tugas mulianya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah yang harus menafkahi semua keluarganya. Beliau adalah sosok ayah yang aku banggakan, jika saja beliau masih hidup mungkin dia kan bahagia melihat aku seperti ini, tapi entahlah.....hanya Allah yang tahu.
Dari subuh usai melaksanakan shalat, beliau pergi membawa becaknya, berputar-putar mengelilingi tepian jalan dengan mengayuhkan roda becak yang dikendarainya. Mungkin jika Allah memberkahinya, ayah akan membawa uang yang banyak untuk keluarganya, namun tidak jarang ayah pun sering tidak membawa uang sepeser pun karena tidak ada penumpang yang mau naik becak ayah, apalagi sekarang jalanan telah dipenuhi oleh mobil-mobil angkot dan pekerjaan sebagai tukang becakpun akhirnya tersisihkan.
Akhirnya ayah beralih profesi menjadi seorang pedagang buah-buahan keliling. Pekerjaan itu pun tidak jauh beda dengan tukang becak karena beliau harus sabar menghadapi hari-hari yang dilaluli, jalan-jalan yang ditelusuri dan menunggu orang yang membeli daganganya. Tapi pekerjaan itu pun dirasakan belumlah cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga, akhirnya ibu meminta izin untuk membantu ayah dalam mencari rizki dan Alhamdulillah ibu mengizinkannya.
Ibu bekerja sebagai pekerka serabutan dan Alhamdulillah meskipun penghasilannya tidak seberapa namun ibu menjalankannya dengan penuh semangat.
Suatu hari, ketika akan melaksanakan shalat malam, ayah terjatuh dikamar mandi dan akhirnya harus dirawat karena dokter menyatakan bahwa ayah mengalami penyakit stroke. Asatgfirullahaadzim.....ya Allah ampuni dosa ayahku"
Tak terasa air mataku melelh jatuh dari tempatnya melintasi pipiku dan tanpa sadar ruang kantorku telah penuh dengan orang-orang yang telah kembali dari istirahatnya.
"shof, kenapa?, kamu habis nangis ya?"
Nina temanku ternyata melihat butiran air mata yang telah terjatuh dari tempatnya.
"Ah...tidak apa-apa, aku cuman terharu membaca buku ini"
" Buku apa, kayanya seru deh sampai-sampai kamu rela tidak makan siang hany karena buku itu samapi nangis lagi"
"Aku dapat buku ini dari suamiku"
"oh...."
hanya kata oh yang menutup perbincanganku dengan Nina tanpa ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya.Nina pergi meninggalkanku menuju meja kerjanya, namun setelah kepergian Nina, pikiranku melayang-layang kembali. Sebenarnya orang yang bagaimana yang bisa disebut beruntung?. padahal aku berpikir bahwa akulah orang yang beruntung. Aku lahir dari keluarga kaya, kedua orangtuaku baik, segala kebutuhanku selalu dituruti dan sekarang akupun masih merasa beruntung karena aku telah menikah dengan seorang eksekutif muda, kaya, cakep, dan Insya Allah sholeh. Keuntungan apa lagi yang belum aku dapatkan?.
Dengan rasa penasaran yang masih menggantung, kusimpan dulu buku yang sedang aku baca karena waktu istirahat akan segera habis dan Asatagfirullah....aku teringat bahwa aku belum shalat dzuhur.
Aku beranjak dari kursiku, lalu kubiarkan kaki ini melangkah menuju musholla.
Bersambung...........
ditulis oleh : Irma widianingsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar