Bagi yang masuk ke blog ini melalui Search Engin dan tidak menemukan artikel yang di cari pada halaman ini maka dapat mencari pada arsip blog atau mengunakan fasilitas search yang ada di blog ini. terimakasih atas kunjungnnya.
bagi yang ingin bertanya sebaiknya langsng melalui YM apabila lagi online atau inggalkan coment di artikel yang bersangutan.

Promo : Transfer Pulsa Indosat (IM3/Mentari/StarOne) pulsa 100rb Harga 82rb (bisa untuk BB)

bagi yang berminat dapat hubungin YM : ivandriyandra atau sms ke no 085624060651. atau data update dapat liat di halaman ini http://indosat.yandra.web.id/

31 Juli 2009

terbaik

Kenapa perasaan itu selalu muncul pada saat ku sendiri

ku ingin merubah semua ini

agar tidak menyakitin dy terus

tapi ku tak sangup melakukannya

karena bagi ku dy masih tetep yang terbaik

maafkanlah aku ini

yang tidak bisa membahagiakan dy

yang selalu menyakitin dy

yang selalu merepotkan dy

sendiri lagi

Kenapa perasaan itu selalu muncul pada saat ku sendiri
Ku ingin merubah semua ini
Agar tidah menyakiti dy terus
Tapi ku tak sanggup melakukannya
Karena bagi ku dy masih tetap yang terbaik
Maafkan aku ini

Yang tak bisa membahagiakan dy
Yang tak bisa melindungi dy
Yang selalu ,emyakiti dy
Yang selalu merepotkan dy

30 Juli 2009

Materi Seminar dan Lokakarya

Berikut ini adalah semua materi yang di samaaikan pada acara Seminar dan Lokakarya Pengembangan Kepribadian Bangsa 2009 dengan tema ”Reaktualisasi dan Reorientasi Materi Serta Metode Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian Dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Bangsa”.
Diselenggarakan oleh Universitas Widyatama Bandung pada tanggal 28-30 Juli 2009.

01 Koordinator Kopertis Wil. IV- prof. Dr. Abdul Hakim
02 DIKTI - Megawati Santoso
03 LEMHANAS - Adi Sujatno, Bc Ip, SH., MH
04 POTHAN - Drs. Siprento ML, M.Th., M.M
05 Makamah Agung - Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag
06 DEPAG - Dr. Syahidin, M.Pd
07 Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd (KOPERTIS Wil. IV)
08 Dr. Ciptati, MS., MSc. (ITB)
09 Dr. Arqom Kuswanjono (UGM)
10 Hadiyanto A. Rachim (UNPAD)
11 Prof.Dr.Drs.Astim Riyanto,SH,MH. (UPI)
12 Dr. Nan Rahminawati, Dra.,M.Pd. (UNISBA)
13 Prof. Dr. Ermaya Suradinata (IPDN)
  • Persentasi
14 Dr. Ni Luh Sustiawati, M.Pd (ISI Denpasar)

29 Juli 2009

SENI SEBAGAI PEMBERI IDENTITAS DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA

Dr. Ni Luh Sustiawati, M.Pd
(ISI Denpasar)

Diberikan pada acara Semiloka Nasional Pengembangan Karakter Bangsa, 28-30 Juli 2009

Universitas Widyatama Bandung

untuk file pdf nya dapat di donload di sini

I. PENDAHULUAN

Pendidikan harus membentuk nilai dan karakter bangsa yang kuat. Pendidikan di Indonesia tidak boleh hanya terkait dengan transfer ilmu dan teknologi, namun juga harus mampu membentuk nilai serta karakter bangsa. Terus pertanyaan kita “Karakter bangsa yang bagaimana yang kita cita-citakan”?

Sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 2, bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Begitu pula Ki Hajar Dewantara dengan sebutan Bapak Pendidikan Nasional, dengan sistem pendidikan yaitu sistem among, tujuan pendidikannya adalah (1) meningkatkan kemandirian, (2) menumbuhkan semangat dan rasa kebangsaan, dan (3) berakar pada kebudayaan nasional (dalam Fuad Hassan, 1989).

Dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Dari unsur-unsur kebudayaan yang universal, memang ada satu diantara ketujuh unsur kebudayaan bisa dikembangkan secara khusus, yaitu kesenian (Koentjaraningrat, 2004). Kesenian di Indonesia yang berciri kebhinekaan merupakan kekayaan yang tiada taranya. Mungkin orang berkata bahwa dalam hal ilmu dan teknologi kita masih tertinggal dibandingkan dengan perkembangan mutakhir, tapi mustahil ungkapan itu diterapkan dalam kehidupan kesenian kita (Fuad Hassan,1989).

Oleh karena itu kesenian yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa merupakan persoalan strategis, karena dapat menentukan kerangka budaya dan karakter bangsa untuk memperkokoh kepribadian bangsa dan ketahanan budaya nasional. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengembangan karakter yang dituju adalah karakter yang memiliki fondasi yang kokoh dengan landasan nilai-nilai budaya bangsa yang adiluhung untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif (Rai, 2005). Pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana Pengembangan Karakter Bangsa lewat Seni?” Nah, hal inilah yang kita diskusikan pada pertemuan yang baik ini.

II. PEMBAHASAN

1. Apakah Seni itu?

Seni adalah ekspresi jiwa manusia (seniman) yang diwujudkan dalam bentuk karya seni tertentu (kesenian). Sebagai salah satu unsur penting dari kebudayaan, kesenian berkaitan erat dengan unsur-usur kebudayaan yang lainnya. Pada dasarnya kesenian dapat digolongkan menjadi empat kelompok utama, yaitu: (1) seni pertunjukan; (2) seni rupa; (3) seni media rekam; (4) seni sastra. Masing-masing kelompok memliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri yang membedakannya antara kelompok seni yang satu dengan yang lainnya. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Seni pertunjukan adalah seni yang ekspresinya dilakukan dengan jalan dipertunjukan, karenanya seni ini bergerak dalam ruang dan waktu. Oleh sebab seni pertunjukan bergerak dalam ruang dan waktu, maka ia merupakan seni yang sesaat, seni yang tidak awet dan hilang berlalu setelah seni itu dipentaskan. Seni pertunjukan meliputi seni tari, seni musik, seni pencak silat, dan seni drama (teater).
  2. Seni rupa adalah seni yang ekspresinya tertuang ke dalam dua dan tiga dimensi, dan bentuk seni mempunyai rupa (visual) dan lazimnya bersifat statis. Wujud seni rupa meliputi seni lukis, seni patung, seni grafis, seni kriya, seni reklame, seni arsitektur, dan seni dekorasi.
  3. Seni media rekam adalah seni audio visual yang wujudnya dihasilkan oleh adanya rekaman seni dengan menggunakan alat-alat elektronik. Seni media rekam meliputi film, video, dan seni audio komputer lainnya.
  4. Seni sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Seni sastra meliputi: puisi, roman, cerita pendek, epik, lirik, termasuk juga seni resitasi (Bandem, 1996:1).

Berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik serta keunggulan-keunggulan yang dimiliki bidang kesenian tersebut di atas, maka kesenian yang merupakan salah satu bidang studi di sekolah-sekolah mulai diberikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pada tingkat pendidikan menengah, bahkan sampai pada tingkat pendidikan tinggi. Adanya materi bidang studi kesenian yang dipelajari pada kurikulum pendidikan dasar maupun pada pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi berfungsi untuk membekali generasi muda dengan nilai-nilai budaya, sikap serta pembentukan kepribadian yang diharapkan mampu melestarikan dan menghargai hasil karya budaya bangsanya dan dapat mempengaruhi pribadi yang mempunyai relevansi terhadap pendidikan serta dapat mewujudkan nilai apresiasi seni. Pencatuman seni dalam program-program pendidikan dapat difungsikan untuk membantu pendidikan, khususnya dalam usahanya untuk menumbuhkembangkan peserta didik agar menjadi utuh, dalam arti cerdas nalar serta rasa, sadar rasa kepribadian serta rasa sosial, dan cinta budaya bangsa sendiri maupun bangsa lain (Soehardjo, 2005). Lebih lanjut Wayan Rai ( 2008) menyebutkan bahwa seni mengandung keindahan bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan keindahan bentuk adalah keindahan berupa wujud dari seni itu, sedangkan keindahan isi meyangkut nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang sifatnya abstrak

2. Peran Pendidikan Seni

Peran pendidikan seni dapat berfungsi sebagai pendekatan dalam belajar, sehingga melalui penerapan pendidikan seni dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik untuk mencapai keseimbangan yang dikehendaki. Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural (Diknas, 2006).

a. Peran Multidimensional

Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, yang berarti melalui pendidikan seni menumbuhkan dan mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik. Lowenfeld dan Brittain (dalam Kamaril, 1998) menjelaskan bahwa melalui kegiatan seni, peserta didik dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk belajar. Konsep tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang dikemukakan oleh Herberd Read dalam bukunya, Education through Art.

Lowenfeld (1975) menyebutkan bahwa “The art process helps the individual grow aesthetically, perceptually, intellectually, emosionally, creatively and technically”, dapat diterjemhkan, “Kegiatan seni dapat membantu individu dalam perkembangan estetik, perseptual, intelektual, emosional, daya cipta, dan teknik”. Berdasarkan hal tersebut di atas, kecerdasan peserta didik pada dasarnya mampu dioptimalkan melalui pendidikan seni yang mencakup fisik, persepsi, pikir (intelektual), emosi (emosional), daya cipta (kreativitas), sosial dan estetika.

Pengembangan Fisik. Dalam kegiatan work shop, kemampuan peserta didik dapat dikembangkan melalui kemampuan praktik dan teknik seni. Ungkapan seni memberi pemahaman secara utuh bahwa kekuatan fisik merupakan sumber kualitas dalam pengungkapan ekspresi gerak tari. Kemampuan motorik (kasar dan halus) terpadu sesuai dengan kehendaknya. Pada dasarnya kemampuan motorik untuk melakukan gerakan secara fisik dari peserta didik dilatih untuk memahami segmen tubuh sebagai bahan ekspresi atau kekuatan fisik. Tubuh sebagai bahan perlu dipahami karakteristiknya serta kekuatan-kekuatan sinergi yang mempunyai sifat dan kekuatan dinamik. Pengembangan motorik peserta didik juga dilatih mengolah kemampuan koordinasi ke dalam gerak motorik dengan sensibilitas secara total (penglihatan, pendengaran, dan kepekaan rasa) dalam rangkaian peristiwa atau karakter yang akan diungkapkan terwujud keterpaduan dan dari masing-masing unsur seni yang menjadi satu kesatuan (gerak tari, iringan, ekspresi/karakter, busana, lighting/pencahayaan) dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa dalam proses pendidikan seni seluruh segmen kepekaan indra dapat difungsikan. Untuk melaksanakan pendidikan seni dapat pula dilakukan kegiatan mengukur, menganalisis dan mensintesis melalui kemampuan berfikir. Hal yang perlu direnungkan kembali melalui pendidikan seni adalah bagaimana untuk mengantisipasi memotivasi tentang: pengembangan emosional anak, dan pengembangan sikap sosial anak.

Pengembangan Persepsi. Kegiatan berolah seni dapat mengembangkan kemampuan sensorik peserta didik dalam menanggapi pengalaman kehidupan melalui indranya, sehingga kepekaan indra peserta didik dapat berkembang dengan baik, kepekaan anak terlatih dan merupakan modal yang penting untuk kegiatan belajar. Dengan ketajaman persepsi, anak akan mampu menangkap atau merespon gejala-gejala peristiwa yang terjadi atau yang dihadapi saat itu, ditangkap dan dicermati dengan totalitas jiwanya. Oleh karena, itu kemampuan pengetahuan persepsi ini merupakan dasar bagi peserta didik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Maka melalui kegiatan seni akan termotivasi tentang peningkatan kemampuan daya serap anak dalam kegiatan belajar.

Pengembangan Pikir. Aktivitas seni dapat mengembangkan kegiatan berpikir anak. Hal ini terbukti dengan kemampuan peserta didik dalam mengaktualisasikan pengetahuan yang dimiliki dengan menunjukkan keterkaitan dirinya dengan lingkungannya. Melalui kegiatan pengamatan/apresiasi lingkungan sekitar atau objek yang dia lihat, maka anak akan mengembangkan kesadaran secara aktif, motivasi peristiwa ini secara tidak langsung dapat berpikir kritis. Dengan demikian, kecerdasan peserta didik dalam pengembangan berpikir kritis merupakan dasar dalam kegiatan belajar.

Pengembangan Emosi. Kegiatan berkarya seni merupakan ungkapan emosional anak secara terkendali, yang dapat dilakukan secara spontan atau terstruktur (terkendali). Berarti gejala jiwa paling dalam disadari anak untuk melakukan tindakan. Oleh sebab itu, peserta didik yang mampu mengungkapkan emosi dengan baik akan membuahkan imajinasi, gagasan, berpikir secara terbuka dan fleksibel. Emosi peserta didik apabila dilatih dengan terkendali dan benar akan menumbuhkan kecerdasan emosi. Mengembangkan kesadaran dan kecerdasan emosi sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar.

Pengembangan Daya Cipta. Kegiatan berkarya seni merupakan perwujudan kreativitas dalam penciptaan seni. Kreativitas/daya cipta pada dasarnya merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya akan membias pada pengembangan peradaban manusia (peserta didik). Peradaban itu sendiri merupakan hasil pemikiran yang kreatif. Pendidikan seni idealnya mempunyai kata kunci yaitu pengembangan kreativitas (tentang imajinatif, sensibilitas dan kebebasan) untuk memberi peluang kepada peserta didik dalam proses pengembangan kreativitas. Kreativitas peserta didik dilatih agar mampu mengakumulasikan atau menata unsur-unsur seni menjadi karya seni yang harmonis. Melalui kegiatan berkarya seni (tindakan kreativitas) anak mampu menciptakan dengan mengolah ketajaman perasaan dan kemampuan berpikir kreatif (creative quotient), yang merupakan landasan dasar kegiatan belajar.

Pengembangan Sosial. Kegiatan berolah seni dapat mengembangkan sikap dan perilaku anak dalam bersosialisasi dengan orang lain atau lingkungan (dalam keluarga/masyarakat). Selain itu peserta didik termotivasi untuk dapat berorganisasi atau bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain atau karya orang lain. Sikap dan perilaku ini dalam pendidikan seni dilatih untuk peka terhadap kondisi sosial di sekitarnya, sebab dalam proses kehidupan seni (baik praktik maupun teori) akan terjadi komunikasi dengan masyarakat (sebagai pelaku, penikmat bahkan pendidik). Dengan kemampuan sosial peserta didik dilatih untuk memahami segala situasi dan kondisi yang dialami sebagai hal yang positif (adversity quotient) merupakan landasan dasar untuk mengembangkan kepribadian.

Pengembangan Estetika. Kegiatan berkarya seni merupakan proses untuk mendapatkan pengalaman estetis. Dengan mengolah kemampuan peserta didik dalam menata unsur-unsur seni berdasarkan konsep estetis diharapkan dapat dicapai keselarasan berpikir. Oleh sebab itu, perlu dikenalkan dan dipahami tentang latar belakang budayanya, agar pengembangan perasaan keindahan dapat terlatih. Pengalaman dan kegiatan semacam ini, selain dapat memperkaya pengalaman jiwa/batin para peserta didik, juga diharapkan mampu memacu ketajaman kepekaan estetika dan artistik mereka. Dengan bekal pengalaman estetika peserta didik diharapkan dapat menafsirkan dan mengerjakan sesuatu untuk kesadaran terhadap nilai-nilai keindahan dalam pengembangan kepribadian yang berbudi luhur.

Pengembangan Bakat. Bakat sebenarnya merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia sejak lahir. Dalam konteks pemahaman seni bakat tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak ada upaya/untuk mengasuhnya. Dalam proses pendidikan seni bakat peserta didik akan tampak melalui kreativitasnya. Dengan kreativitas diharapkan peserta didik akan termotivasi dan berminat untuk melakukan kegiatan seni. Ditunjang dengan kemampuan pribadi untuk mau melakukan dan berlatih mengenal bentuk-bentuk seni akhirnya peserta didik mempunyai sikap terbuka untuk menerima bentuk-bentuk seni tersebut. Pada akhirnya cenderung memilih mana yang paling lekat dengan jiwanya (disukai). Dari peristiwa/proses inilah bakat peserta didik bisa diamati.

b. Peran Multilingual

Seni merupakan bahasa, berarti pendidikan seni bertujuan mengembangkan kemampuan berekspresi dengan segala cara dengan memakai bahasa seni dan keterpaduannya. Peran pendidikan seni sifatnya multilingual. Melalui pendidikan seni peserta didik mampu berkomunikasi melalui beragam bahasa (baik verbal maupun nonverbal), diharapkan juga mampu memanfaatkan bahasa rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Goldberg (dalam Kamaril, C.1999) menyatakan bahwa seni adalah cermin hidup dan cermin realitas, termasuk hidup dan realitas anak (peserta didik) dalam seni terhadap bahasa estetika dan simbolis, yang mampu menghadirkan pencitraan terhadap suatu keadaan tertentu.

Pendidikan seni mempunyai peran untuk mengembangkan berbagai kompetensi dasar yang dimiliki peserta didik dalam kegiatan ekspresi seni. Peran pendidikan seni yang bersifat multilingual secara integratif dapat dipahami melalui beberapa media yaitu media ekspresi, komunikasi, eksplorasi.

Media Ekspresi. Bagi peserta didik hal yang terpenting adalah kebebasan mengungkapkan perasaannya. Dengan berekspresi akan selalu terkait unsur: emosi, pikir, imajinasi dan kegiatan-kegiatan yang tanpa memperhatikan apakah pengungkapannya itu diterima orang lain atau tidak. Sikap kebebasan dan kepuasaan dapat mendominasi pribadinya. Sebagai media ekspresi, peserta didik dalam ungkapan seni betul-betul perlu memahami karakternya dan mampu mengutarakan gagasan yang ingin dicetuskan melalui bahasa seni (gerak-tari), (rupa-lukisan), serta keterpaduannya berbagai bahasa seni.

Media Komunikasi. Media komunikasi dapat digunakan sebagai media pendidikan seni, komunikasi antara peserta didik dan pengajar atau orang lain. Komunikasi adalah suatu cara untuk berhubungan dalam rangka tertentu kepada orang lain. Dalam komunikasi terdapat unsur-unsur pengirim pesan, isi pesan, penerima pesan (Kamaril, 1998:123). Dalam proses komunikasi seni, pesan disampaikan oleh seorang pencipta seni berupa gagasan/ide estetik yang diungkapkan ke dalam simbol gerak, bunyi, rupa dan peran dalam bentuk (mimik) wajah. Pesan tersebut ditujukan kepada orang lain atau penghayat/penikmat. Suatu proses itu terjadi jika ada pesan, ada isi pesan dan ada yang dimengerti oleh penerima pesan tersebut.

Proses Komunikasi Seni

Media Bermain/Bereksplorasi. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan kesenangan tanpa memperhitungkan hasil akhimya. Dunia anak dinyatakan sebagai dunia bermain, melalui bermain/bereksplorasi anak dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia di sekitarnya (Hurlock dalam Kamaril, 1998). Media bermain/bereksplorasi dalam seni berupa kegiatan berekspresi peserta didik mengungkapkan gagasannya. Mereka termotivasi dengan ungkapan bermain/berekplorasi gerak-gerak tertentu disebut menari yang didukung alat musik sebagai peng­iring atau keterpaduannya. Sama halnya dengan pembahasan tentang bermain/bereksplorasi gerak-gerak tertentu disebut menari yang didukung dengan pembahasan tentang bereksplorasi unsur musik, rupa atau peran. Pada dasarnya bermain/bereksplorasi dapat membangkitkan kesenangan minat belajar pada peserta didik terhadap seni. Dalam proses, peserta didik bisa meniru setelah dia mengamati objek sebagai persepsi. Setelah itu melakukan pemilihan/penjelajahan, dalam sikap selektif apa yang dibutuhkan sebagai media sarana yang mewa­dahi, untuk membangun kondisi tertentu dalam kegiatan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok (kerja sama).

c. Peran Multikultural

Melalui pendidikan seni dengan pendekatan multikultural menurut Gyorgy Kepes (dalam Sustiawati, 2008) menyebutkan, bahwa sifat multikultural berperan mengembangkan kepekaan sosial anak, menanamkan kesadaran akan adanya perbedaan dan keanekaragaman budaya. Pendidikan seni dengan pendekatan yang bersifat multikultural adalah menjalin, menghargai, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap keragaman budaya yang pluralis, baik budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain. Paradigma yang hendak dikembangkan dalam pendidikan seni multikultural hendaknya bisa berkembang seiring dengan hak dan keragaman latar belakang peserta didik sebagai pribadi yang belajar bersama-sama, hendaknya saling menghargai toleransi, demokrasi dan hidup rukun dalam masyarakat budaya yang majemuk.

Multikultural berarti keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Keragaman diharapkan menjadi dasar pemersatu bangsa Indonesia, mengingat bangsa Indonesia memiliki keragaman etnis dengan pola tradisi idealisme yang berbeda-beda, yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, peran pendidikan seni yang bersifat multikultural bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global. Diharapkan dengan kesadaran hidup akan terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas, terbuka dan bijaksana.

2. Seni Sebagai Identitas dan Perekat Bangsa

Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa lainnya, dengan adanya ciri-ciri yang berbeda itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri sehingga akan mampu memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Salah satu peluang untuk menyatakan identitas-diri ini adalah melalui kegiatan seni. Kegiatan seni dianggap potensial oleh karena mampu mengekpresikan identitas-diri kelompok secara alamiah. Melalui seni, simbol budaya, mitos, keyakinan, dan harapan dari suatu kelompok dapat dinyatakan secara efektif dan otentik. Seni sebagai pemberi identitas maksudnya adalah melalui kekayaan seni budaya Indonesia kita mampu menunjukkan jati diri bangsa Indonesia di tengah budaya global.

Indonesia memiliki berbagai suku dengan sejarah dan latar belakang budaya yang sangat beragam. Hal tersebut tercermin pula dari keragaman bentuk dan sifat kesenian yang muncul serta dapat kita warisi hingga saat ini. Sebagai ekspresi dari masyarakat pendukungnya, kesenian mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Kekayaan seni budaya Nusantara telah mampu memberikan kita sebuah kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berbudaya tinggi.

Namun beberapa dekade terakhir ini berbagai krisis yang menimpa bangsa Indonesia sungguh sangat memprihatinkan kita. Berita-berita tentang semakin merosotnya nilai kebangsaan, persatuan dan kebersamaan hampir setiap hari disuguhkan oleh media cetak maupun elektronik. Masalah itu masih ditambah lagi dengan semakin merosotnya nilai etika dan moral, arogansi, pengalahgunaan obat-obat terlarang, tawuran, terorisme, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya sudah sedemikian rapuhkah rasa persatuan dan kesatuan serta mentalitas anak bangsa kita? Sekiranya memang benar demikian adanya. Bagaimanakah caranya merekat?

Dalam situasi seperti ini, seni dapat dipergunakan sebagai salah satu perekat. Untuk itu potensi seni budaya kita perlu dioptimalkan, terus dipertahankan dan dikembangkan secara kreatif, sehingga dapat menumbuhkan rasa solidaritas baik sesama bangsa Indonesia maupun dengan bangsa lainnya didunia. Melalui Sekaa, Sanggar, Banjar, Sekolah, dan aktivitas seni budaya seperti Pesta Kesenian, Pesta Seni Remaja, Festival Seni, Gelar Seni, dapat dipergunakan untuk menanamkan nilai budaya bangsa. Dengan penanaman nilai tersebut lewat seni, maka akan dapat memberikan landasan serta dapat dipergunakan untuk beraktivitas secara positif.

Sebagai salah satu contoh (dalam paper Rai, 2005) dikemukakan sebuah even daerah yang kini sudah menjadi even Nasional dan Internasional yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB). Pesta Kesenian yang merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Bali mulai dilaksanakan pada tahun 1978 atas gagasan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm), Gubernur Bali pada waktu itu. Ada lima jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam PKB yaitu: pawai pembukaan, pagelaran, pameran, lomba, dan sarasehan, PKB dilaksanakan sekitar satu bulan penuh mulai pertengahan Juni hingga pertengahan Juli. Tahun ini pelaksanaan Pesta Kesenian Bali sudah memasuki tahun yang ke-31. Salah satu aspek yang perlu dikemukakan di sini adalah bagaimana antusiasme masyarakat Bali khususnya (tua, muda, anak-anak) dalam mempersiapkan diri guna bisa berpartisipasi dalam PKB yang dipusatkan di Taman Budaya Denpasar (dan disebar ke beberapa daerah Kabupaten/Kota). Persiapan berupa latihan-latihan kesenian baik kesenian tradisi maupun modern dilakukan berbulan-bulan lamanya. Setelah waktunya tiba, maka kegiatannya akan dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan terakhir yang terpilih sebagai unggulan kabupaten/kota akan tampil di Denpasar. Apabila diamati yang terpenting di sini bukanlah semata-mata produk akhirnya, melainkan proses yang telah dilalui mulai dari perencanaan, latihan, hingga terwujudnya suatu bentuk kesenian yang diinginkan. Dalam proses seperti ini telah terjadi, tidak saja kemampuan berupa keterampilan teknis, melainkan juga adanya penanaman nilai-nilai budaya, pencarian identitas, sekaligus merekatkan seniman, masyarakat, pemerintah, dan unsur-unsur terkait lainnya, di mana hasilnya akan dapat dijadikan sebuah kebanggaan. Sesuai dengan kenyataan yang ada, telah terbukti pula bahwa melalui kegiatan kesenian seperti ini telah memberikan dampak yang positif. Misalnya saja anak-anak muda di beberapa desa atau tempat di Bali yang sebelumnya sering membuat ulah hingga cukup memusingkan keluarga maupun masyarakat, akhirnya dengan bangga mampu menampilkan kebolehannya di atas pentas guna mempertaruhkan nama desa serta kabupatennya di arena PKB. Mereka telah memiliki predikat baru yaitu dari anak jalanan ke anak panggung.

Yang patut dicatat pula bahwa dari kenyataan yang ada, grup atau sekaa yang tampil di PKB itu bukanlah seniman Bali saja, melainkan juga seniman dari beberapa daerah di Indonesia maupun seniman mancanegara. Para seniman kita yang sudah pernah tampil di PKB di antaranya berasal dan Sumatera Barat, Aceh, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Maluku, Sulawesi, Papua, Kalimantan, dan seniman dan daerah lainnya di Indonesia. Para seniman mancanegara yang sudah pernah tampil di PKB, seperti Grup dan Jepang, Ameriika Serikat, Eropa, Australia, India, Korea, Singapura, dan lain-lainnya, selain telah dapat memperkenalkan keunikan kesenian negaranya masing-masing, juga telah mampu mempertunjukkan kebolehannya membawakan kesenian Indonesia baik yang tradisional maupun modern. Grup kesenian, seperti Gamelan Sekar Jaya dari Amerika Serikat, Sekar Jepun dan Yamashiro Gumi dari Jepang merupakan beberapa contoh yang dimaksud. Lewat ajang seperti ini tentu akan terjadi interaksi yang positif antara sesarma seniman Indonesia maupun antara seniman Indonesia dengan rekan kita dan luar negeri.

Salah satu contoh lagi yang perlu dikemukakan di sini adalah apa yang pernah dialami Bapak Prof. Dr Wayan Rai S, MA (sekarang Rektor ISI Denpasar), ketika mengikuti Cherry Blossom Festival di Washington DC, Amerika Serikat pada tahun 1996 pada waktu itu Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia Washington DC, terpilih sebagai salah satu peserta. Setelah melalui penilaian yang sangat ketat, panitia menyatakan berhak mengikuti Festival Internasional yang sangat bergengsi itu, maka persiapan pun dilakukan oleh pihak KBRI yang koordinator serta pelatihnya pada waktu itu adalah Bapak I Gusti Agung Ngurah Supartha, SST, dari KBRI Washington DC. Setelah perencanaan dibuat secara matang dan disetujui oleh panitia festival, maka dikumpulkanlah semua masyarakat Indonesia yang ada disekitar Washington DC baik itu siswa, mahasiswa, pegawai maupun yang lainnya. Pada saat pertemuan pertama diadakan di salah satu ruang latihan di komplek KBRI berbagai komentar saya dengar: tugasku opo? Wong aku tak pernah nari kok. Yang lain menimpali: aduh & don’t worry & pakai aja pakaian tari itu (sambil menunjuk ke pakaian tari yang tergantung disebelahnya) nggak ada orang tahu kok. Ada juga yang berkata: aku sudah latihan tari Jawa sejak kemarin, akhirnya pernah juga aku belajar tarian Indonesia di Amerika, & malu diikalahkan sama bule. Singkat cerita, melalui kegiatan seperti ini kita bisa saling kenal dan dapat bertukar pikiran serta pengalaman dengan sesama orang Indonesia di Washington DC. Pada waktu hari H, terlihat rekan-rekan kita dengan sangat bangga menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika melalui busana dan berbagai bentuk kesenian dari Sabang sampai Merauke. Para penonton pun tampak kagum akan kekayaan seni budaya kita. Ketika salah seorang dan penonton bertanya where are you from? tanpa dikomando rekan-rekan kita menjawab INDONESIA.......

3.Bagaimanakah Peranan Perguruan Tinggi Kita?

Dalam HELTS (Higher Education Long Term Strategy, 2003- 2010) dengan tegas telah dinyatakan bahwa:

Art, particularly that is rooted at noble indigenous tradition and culture, is critical for strengthening the nation’s character in addition to personal growth for developing creativity and innovation [Zainuddin, 1994]. Therefore, the development of art education is strategic. Art education should be crafted to bring about common outcomes through academic approaches that tolerate flexible learning environment, different teaching styles, and classroom practices based on variety of pedagogical methods. The art education should be capitalized to benefit the entire education sector, and at the same time, improve the nation’s competitiveness. In order to fulfill such demands, the existing art education, including curriculum design and staff development, need to be reform; whereas the appropriate learning facility research focus need to be aligned (HELTS, 2003:13-14).

Selanjutnya dalam konsep pendidikan yang holistik, Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. menekankan betapa pentingnya Olah Pikir, OIah Raga, Olah Rasa dan Olah Kalbu sehingga akan menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif. Potensi Indonesia yang ditunjukkan lewat supremasi olah rasa dengan ungkapan estetis yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk karya seni merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya (dalam Rai, 2005)

ISI Denpasar sebagai salah satu Perguruan Tinggi Seni melalui visinya yaitu menjadi pusat penciptaan, pengkajian, penyaji, dan pembinaan seni yang unggul berwawasan kebangsaan demi memperkaya nilai-nilai kemanusiaan sesuai perkembangan zaman, terus berusaha sebagai agen konservasi dan agen perubahan untuk memanfaatkan seni budaya sebagai salah satu sarana pemberi identitas dan perekat bangsa dalam menghadapi jaman globalisasi ini serta untuk meningkatakan daya saing bangsa.

Seperti yang diceritrakan Bapak Wayan Rai, S (sekarang Rektor ISI Denpasar) bahwa aset seni budaya kita, kini tidak saja milik bangsa Indonesia melainkan sudah merupakan milik dunia, Sejak tahun 1950-an kesenian Indonesia telah masuk Universitas terkemuka di Amerika Serikat. Prof. Dr Ki Mantle Hood, salah seorang tokoh Ethnomusicology dunia, telah memasukkan kesenian Indonesia ke dalam kurikulum Institute of Ethnomusicotogy, di University of California Los Angeles (UCLA). Lewat konsep bi-musicality kesenian Indonesia telah dipelajari oleh mahasiswa yang berasal dan berbagai negara. Sejak itulah kesenian Indonesia menyebar ke berbagai kampus, kota, dan berbagai tempat di benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia. Berdasarkan catatan yang dibuat Ear Magazine, New York, di Amerika Utara saja sudah terdapat lebih dan 200 set gamelan (musik tradisi Indonesia) yang dimiliki oleh kampus, yayasan, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsultan Jendral RI, dan perseorangan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika gema seni budaya Indonesia ikut mewarnai kehidupan kampus-kampus terkemuka di dunia seperti University of California Los Angeles (UCLA), California Institute of the Arts, San Diego State University, University of California San Diego (UCSD), University of California Santa Cruz, University of Berkeley, University of Washington, Seattle, Mills College, University of Michigan, University of Denver, Colorado, University of Maryland, Baltimore County, University of Maryland College Park, Hollycross College, Boston, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Swarthmore College, Cabnini College (Philadelphia), Dartmouth College, Wesleyan University, University of South Florida, University of Hawaii (semuanya di Amerika Serikat); University of British Columbia (UBC), University of Montreal (Canada); Universitas Katolik (Peru); SOAS, London; Monash University, Northern Territory University, Darwin, Tuwumba University (Australia), serta beberapa universitas terkemuka lainnya di Eropa dan Asia. Kelas-kelas seni budaya Indonesia itu tidak saja diambil dan diminati oleh para mahasiswa yang mayornya seni, melainkan juga ditawarkan sebagai Minor. atau kelas pilihan. Dan pengalaman saya mengajar di beberapa kampus di luar negeri ternyata kelas seni budaya Indonesia banyak diminati oleh para mahasiswa yang berasal dan Computer Science, Architecture, Psychology, Comparative Religion, dan sebagainya. Masalahnya sekarang, BAGAIMANA DENGAN KITA Dl INDONESIA?

III. PENUTUP

Sebagai akhir dan presentasi ini, bahwa untuk menyongsong peradaban dan persaingan global yang penuh dengan dinamika dan tantangan, spiritualitas watak kebangsaan (istilah dari mantan Mendiknas, Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar) sudah sepatutnya dan sangat perlu untuk diperteguh. Dalam hubungan ini kesenian sebagai salah satu unsur penting kebudayaan dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Seni dapat memberikan jati diri yang mampu memberikan kebanggaan dengan identitas lokal dan nasional dalam konteks global. Selain itu melalui kegiatan kesenian, di samping dapat menikmati keindahan bentuk serta penampilannya, kita akan dapat menikmati keindahan isinya berupa nilai-nilai budaya yang luhur sehingga diharapkan akan tumbuh rasa saling harga menghargai, rasa saling pengertian, hormat menghormati, rasa kebersamaan, demokrasi, dan lain-lain untuk mencegah atau meminimalkan konflik yang terjadi di masyarakat. Dengan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki jati diri, watak kebangsaan yang teguh dan kualitas yang tinggi, kita percaya dapat bersaing pada era kesejagatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Yogyakarta: Pustaka Sinai Harapan, 1984.

Atmaja, Nengah Bawa. 2006. Menggali Potensi Kebudayaan Etnik, Kebudayaan Nasional Dalam Konteks Kebudayaan Global. Makalah disampaikan dalam seminar memperingati Dies dan Wisuda Sarjana/Pascasarjana UNHI, Denpasar, 30 Septembner.

Bandem, I Made and Fredrik Eugene deBoer. 1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996.Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Bandem, I Made.1996. Peranan Seniman Dalam Pembangunan Nasional . Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan di Jakarta.

Buchori, M. 2002. Pendidikan Pluralisme untuk Pendewasaan Kehidupan Berbangsa. Makalah Workshop Pendidikan Apresiasi Seni: Merayakan Keanekaragaman Budaya Nusantara: PSB-PSUMS.

Darma Putra & Windhu Sancaya, eds. 2005. Kompetensi Budaya dalam Globalisasi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan,

Depdiknas, 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Menegah Pertama. Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Sekolah Mengenah Pertama, Jakarta.

Dibia, I Wayan. 2001. “Pluralisme Budaya Sebagai Potensi Membangun Indonesia Baru”. Makalah disajikan di dalam Seminar Plurasilme Budaya Dalam Kehidupan Bangsa, Dalam rangka Festival Kesenian Indonesia II, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia, tanggal 3 April 2001: Padang Panjang.

Dibia, I Wayan., FX. Widaryanto., Endo Suanda. 2006. Tari Komunal. Buku Pelajaran Kesenian Nusantara Untuk Kelas XI. Edisi Uji Coba PSN 2006. Jakarta: Pendidikan Seni Nusantara.

Directorate General of Higher Education, Ministry of National Education Republic of Indonesia. Higher Education Long Term Strategy 2003-2070.

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan, 2004. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni di lndonesia, Ditjen Dikti, Depdiknas.

Djoko Damono, Sapardi (editor dan penulis artikel). 2000.Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000. Surakarta: Yayasan Kelola,

Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono, (ed). 1983. Seni dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Edi Sedyawati. 2001. Kebhinekaan dalam Wawasan Kebangsaan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional, Universitas Udayana Denpasar, Denpasar, 15 September.

Endo Suanda. 2005. Tari Tontonan : Buku Pelajaran Kesenian Nusantara. Untuk kelas VIII Buku Uji Coba PSN 2005.

Fuad Hassan, 1989. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Gong, 2004. “Lembaga Pendidikan Seni Nusantara: Pendidikan Seni Nusantara” Edisi 63/VI/2004. Yogyakarta: Yayasan Media, Seni dan Pendidikan Seni

Institut Seni Indoensia Denpasar. 2006. Panduan Studi. Denpasar: ISI Denpasar.

Jameson, Fredric, and Masao Misyoshi (ed). 1998. The Cultures of Globalization. Durham and London: Duke University Press.

Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. X-2000.

Kamaril, C. 1999. Konsep dan Sistem Pembelajaran Kesenian Terpadu di Sekolah Dasar: Modul 2. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 1987. “Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional”. Dalam Alfian ed. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia. Halaman 99-141.

Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Pitana, I Gde (ed). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar Penerbit BOP

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Bali. Jakarta: Depdikbud.

Rai S., I Wayan. 2005. Seni Sebagai Identitas dan Perekat Bangsa. Makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Universitas Tri Sakti pada Seminar Tingkatkan Apresiasi Budaya Akademik dan Kedamaian dalam Masyarakat Bangsa, Jakarta 29 Nopember 2005.

Rai S., I Wayan. 2008. Peran Pendidikan Tinggi dan Pimpinan Daerah dalam Mengembangkan Local Genius, Makalah disampaikan di Pascasarjana Universitas Gajahmada, Yogyakarta 15 Desember 2008.

Soedarsono, 2000. “Apresiasi seni dan Budaya dalam Pendidikan” dalam Sindhunata ed., 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta : Kanisius.

Soehardjo, 2005. Pendidikan Seni dari Konsep sampai Program. Buku Satu, Malang: Balai Kajian Seni dan Desaín Jurusan Pendidikan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Suparlan, Parsudi. 2001. Bhineka Tunggal Ika-Keanekaragaman Suku Bangsa atau Kebudayaan? Makalah Seminar Menuju Indonesia Baru: Dari Masyarakat Majemuk ke Masyarakat Multikultural. Perhimpunan Indonesia Baru & Asosiasi Antropologi Indonesia, Yogyakarta:16 Agustus 2001.

Sustiawati, 2008. Pengembangan Manajemen Pelatihan Seni Tari Multikulkur Berpendekatan Silang Gaya Tari Bagi Guru Seni Tari SMP Negeri Di Kota Denpasar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM.

Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional-LIPI. 1997. Kapital Selekta Manifiestasi Budaya Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.


KURIKULUM, METODA PEMBELAJARAN, DAN PERMASALAHANNYA

Oleh: Nan Rahminawati

Diberikan pada acara Semiloka Nasional Pengembangan Karakter Bangsa, 28-30 Juli 2009

Universitas Widyatama Bandung

untuk file pdf nya dapat di donload di sini

PENDAHULUAN

Al-Hayat al-thayyibah (hidup berkualitas tinggi) merupakan tuntutan era global yang harus dipenuhi. Bergulirnya globalisasi, otonomi daerah, reformasi pendidikan, serta otonomi perguruan tinggi berkontribusi terhadap munculnya kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) seperti tercermin dalam Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar mahasiswa. Secara konseptual, Depdiknas (2002:1) mengemukakan beberapa dasar pemikiran digunakannya konsep kompetensi dalam kurikulum: (1) kompetensi berkaitan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten, (3) kompetensi merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran, dan (4) kehandalan kemampuan peserta didik dalam melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. Oleh karenanya, rumusan kompetensi dan KBK merupakan pernyataan: ”apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, dan dilakukan peserta didik” dalam tingkatan dan satuan pendidikan.

Untuk dapat membumikan keempat dasar kompetensi tersebut di atas, manusia sebagai khalifah fi al-ardh telah diberi potensi untuk mengelola (meminjam istilah Quraish Shihab) “daya tubuhnya, daya hidupnya, daya akalnya, dan daya kalbunya”. Dengan daya tubuh, manusia dapat berkekuatan fisik karena organ tubuh dan panca inderanya difungsikan. Dengan daya hidup, maka kemampuan mengembangkan, menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya akan dimiliki. Begitu juga dengan daya akal, memungkinkan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan daya kalbu, dapat mengarahkan moral, merasakan keindahan keimanan, dan kehadiran Allah. Seluruh potensi itu diolah melalui suatu usaha yang disebut proses pembelajaran, yang didalamnya menggambarkan adanya kurikulum dan metoda pembelajaran.

Pada umumnya kurikulum dipandang sebagai “rencana” yang disusun untuk kesuksesan proses pembelajaran di bawah bimbingan dan tanggungjawab satuan pendidikan atau lembaga pendidikan dengan seluruh pengajarannya. Para pakar teori kurikulum berpendapat pula bahwa kurikulum selain dari pada semua kegiatan yang telah direncanakan juga mencakup kegiatan-kegiatan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan satuan pendidikan. Jadi selain kegiatan kurikuler yang formal, juga yang tidak formal. Kurikulum perlu dikelola agar menciptakan proses pembelajaran yang mudah direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dikendalikan dengan baik secara efektif dan efisien. Efektif berarti membelajarkan peserta didik sesuai dengan apa yang seharusnya dikembangkan di setiap jenjang pendidikan. Sementara yang dimaksud dengan efisien adalah mendayagunakan tenaga, waktu, biaya, ruang atau gedung, dan fasilitas pendidikan lainnya sehemat mungkin.

Kurikulum yang telah ditentukan dan disusun Pemerintah dan dikoordinasikan Dinas Pendidikan masih berupa barang cetakan yang belum berfungsi. Selanjutnya, pendidik haruslah memfungsikan kurikulum tersebut, sehingga dapat dilaksanakan dan diwujudkan di kelas. Kurikulum dilaksanakan agar terjadi perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan harapan sebagaimana telah dirumuskan dalam Standar Kompetensi Dasar, Kompetensi Dasar, Tujuan, dan Indikator.

Ketercapaian komponen tujuan kurikulum harus disertai kemampuan pendidik dalam memahami kurikulum, sehingga ia dapat menjadikannya dalam bentuk pengalaman yang bermakna bagi peserta didik. Hanya usaha pendidiklah yang dapat merealisasikan setiap kurikulum formal. Oleh karena itu, kurikulum yang diwujudkan dalam kelas selalu mengandung kepribadian pendidik. Pelaksanaan kurikulum selalu diwarnai oleh pribadi pendidik, jadi selalu mengandung perbedaan individual walaupun kurikulum itu “uniform”.

Kurikulum merupakan pedoman umum yang harus dijabarkan atau dianalisis lebih lanjut oleh pendidik sebagai pedoman pembelajaran. Komponen tujuan, metoda, materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran perlu dirinci dan dipersiapkan pendidik sebaik mungkin karena hal tersebut akan menentukan mutu pembelajaran yang selanjutnya menentukan mutu pendidikan.

PEMBAHASAN

A. KURIKULUM DAN PERMASALAHANNYA

Kompetisi pencari kerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang semakin ketat menuntut perhatian penyelenggara perguruan tinggi untuk selalu melakukan penyesuaian kurikulum, proses dan materi pembelajaran serta kualitas para dosen terhadap perkembangan dunia kerja. Peningkatan relevansi pendidikan ini sebaiknya menjadi sasaran dari peningkatan kualitas yang terus menerus (continous quality enhancement) sebagai bagian dari suatu sistem penjaminan mutu (quality assurance system) perguruan tinggi secara keseluruhan. Dalam hal ini, aspek relevansi menuntut penyelenggara perguruan tinggi untuk mengembangkan program studi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Di samping itu, melalui suatu perencanaan yang baik, perguruan tinggi dengan potensi dan kemampuan yang memadai dapat mengembangkan program studi yang lebih memusatkan pendidikannya pada kebutuhan tenaga peneliti atau pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Kualitas dan relevansi merupakan dua aspek pendidikan tinggi yang saling berkaitan dan mempunyai kontribusi langsung pada peningkatan daya saing bangsa dalam bidang sumber daya manusia. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi merupakan pekerjaan yang cukup kompleks, karena menyangkut banyak faktor seperti kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas sarana dan fasilitas pendidikan, sistem pengelolaan pendanaan, dan suasana akademik yang tercipta di dalam perguruan tinggi masing-masing. Untuk mempercepat peningkatan kedua aspek tersebut, perguruan tinggi dapat mengupayakan cooperation, benchmarking, networking atau berbagai usaha lain, sehingga dapat memanfaatkan lesson learned dan best practices dari perguruan tinggi lain.

Perhatian terhadap kualitas dan relevansi pendidikan tidak terlepas dari penetapan kurikulum dan pelaksanaan proses pembelajaran secara sinergis. Implementasi Kurikulum pada Perguruan Tinggi, hendaknya mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar mahasiswa, terutama pada:

Pasal 7

(1) Kurikulum pendidikan tinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan program studi terdiri atas: kurikulum inti, dan kurikulum institusional.

Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional.

Pasal 8

(1) Kurikulum inti program sarjana dan program diploma terdiri atas:

  1. Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK); adalah bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
  2. Kelompok Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK); adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan ilmu dan keterampilan tertentu.
  3. Kelompok Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB); adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekayaan berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai.
  4. Kelompok MatakuliahPerilaku Berkarya (MPB);adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai.
  5. Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB); adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Sesuai dengan tema Seminar Nasional, maka pembahasan kurikulum ini lebih difokuskan pada pengembangan kelompok MPK. Untuk itu, diungkapkan lebih lanjut dalam:

Pasal 9

Kurikulum institusional program sarjana dan program diploma terdiri atas keseluruhan atau sebagian dari:

a. kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang terdiri atas matakuliah yang relevan dengan tujuan pengayaan wawasan, pendalaman intensitas pemahaman dan penghayatan MPK inti;

Pasal 10

(1) kelompok MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi/kelompok program studi terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

(2) Dalam kelompok MPK secara institusional dapat termasuk bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Budaya Dasar. Ilmu Sosial dasar, Ilmu Alamiah Dasar, Filsafat Ilmu, Olah Raga dan sebagainya.

Pelaksanaan kurikulum perguruan tinggi, selain mengacu pada Kepmendiknas No. 232/U/2000, juga mengacu pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam Bab X, secara jelas diatur bagaimana kurikulum itu harus dikembangkan. Lebih rinci dalam pasal 36 disebutkan bahwa:

(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;

b. peningkatan akhlak mulia;

c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

e. tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

f. agama;

g. dinamika perkembangan global; dan

h. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

(1) kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

  1. pendidikan agama;
  2. pendidikan kewarganegaraan; dan
  3. bahasa.

Sedangkan dalam pasal 38 diuraikan tentang:

(1) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi untuk setiap program studi.

(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

Agar kedua regulasi tersebut di atas dapat diimplementasikan, maka:

1. Unsur utama dan pertama yang harus dikedepankan adalah kesiapan mental untuk mau menerima perubahan;

2. Stakeholder yang terlibat dalam pendidikan menyadari sepenuhnya bahwa proses pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kualitas kehidupan dan martabat manusia Insonesia dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional

B. METODE PEMBELAJARAN DAN PERMASALAHANNYA

Jika perguruan tinggi telah menetapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai suatu guiding instruction-nya, maka perlu memperhatikan karakteristik dalam KBK seperti ditetapkan Depdiknas sebagai berikut.

1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individu maupun klasikal berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;

2. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;

3. Sumber belajar bukan hanya dosen, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, dan

4. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan kompetensi.

Merujuk pada point (2) tersebut di atas, maka peran dosen menjadi penentu dalam keberhasilan pembelajaran mahasiswa. Pembelajaran pada dasarnya bukan hanya menyampaikan informasi melainkan mengkondisikan peserta didik untuk belajar. Pembelajaran adalah proses pencarian ilmu pengetahuan secara aktif atau proses perumusan ilmu, bukan proses pengungkapan ilmu semata. Pembelajaran merupakan upaya bersama antara dosen dengan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk dapat diintegrasikan dalam diri mahasiswa dan menjadi landasan bagi mahasiswa untuk belajar berkelanjutan secara mandiri. Lebih lanjut, pembelajaran sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain facilitating, empowering, dan enabling untuk membuat mahasiswa belajar secara aktif, yang menekankan pada sumber belajar.

Pembahasan metode pembelajaran tidak terlepas dari penggunaan pendekatan, strategi dan teknik dalam pembelajaran. Pendekatan merupakan cara pandang dosen dalam melaksanakan suatu proses pembelajaran. Pendekatan terdiri atas sejumlah strategi. Strategi merupakan upaya yang dilakukan dosen dalam mengimpelementasikan proses pembelajaran, dimana strategi terdiri atas sejumlah metode. Metode merupakan cara dosen dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan menggunakan sejumlah teknik. Sedangkan teknik pembelajaran merupakan prosedur yang sistematik sebagai petunjuk untuk melaksanakan tugas pekerjaan yang kompleks atau ilmiah, merupakan tingkat keterampilan atau perintah untuk melakukan patokan-patokan dasar suatu penampilan. Atau dengan kata lain teknik sebagai cara yang sifatnya lebih operasional dalam menyampaikan materi pembelajaran.

Agar pembelajaran berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pemilihan metode haruslah mengacu pada prinsip berikut ini.

1. Harus memanfaatkan teori kegiatan mandiri;

2. Harus didasarkan atas teori dan praktik yang terpadu

3. Harus memperhatikan perbedaan individual;

4. Harus merangsang kemampuan berpikir dan nalar peserta didik;

5. Harus menyediakan pengalaman belajar melalui KBM yang bervariasi;

Seorang dosen harus secara cerdas memilah dan memilih metode dengan tepat, juga dituntut mempelajari berbagai metode yang digunakan disesuaikan dengan tuntutan materi

Terkait penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada perguruan tinggi, maka pemilihan metode perkuliahan pun haruslah diarahkan pada:

1. Minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian pun beragam sesuai karakteristik mahasiswa.

2. Kegiatan pembelajaran perlu dirancang melalui pemberian pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep-konsep, kaidah, dan prinsip disiplin ilmu yang dipelajari.

3. Upaya mengembangkan kemampuan sosial, dicirikan dengan kemudahan dalam mengkomunikasikan gagasan yang telah dimiliki mahasiswa.

4. Upaya mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Mahasiswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Dua hal pertama merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sedangkan ketiga untuk bertakwa kepada Allah SWT.

5. Upaya mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, yang dapat melatih mahasiswa untuk mampu mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan menggunakan kemampuan kognitif dan meta kognitif.

6. Upaya mengembangkan kreativitas mahasiswa, yang memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kreativitas mahasiswa.

7. Upaya mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi.

8. Upaya menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik, dengan memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat membekali mahasiswa menjadi warga masyarakat dan warga Negara yang bertanggungjawab. Juga mampu menggugah kesadaran siswa akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.

9. Upaya mendorong mahasiswa untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali dirinya sendiri (baik kekurangan maupun kelebihannya) untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya.

10. Upaya memadukan kompetensi, kerjasama, dan solidaritas.

Dari kesepuluh hal tersebut di atas, maka metode perkuliahan yang dapat dipilih hendaknya digeser dari Teacher Centered Learning (TC) ke Student Centered Learning (SCL).

Implementasi SCL perlu memperhatikan aspek-aspek berikut.

1. Memahami tujuan dan fungsi belajar

2. Mengenal mahasiswa sebagai individu

3. Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang

4. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah

5. Memanfaatkan lingkungan sumber belajar serta memberikan muatan nilai, etika, estetika dan logika

6. Memberikan umpan balik untuk mendorong kegiatan belajar

7. Menyediakan pengalaman belajar yang beragam

Metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan SCL, dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Small group discussion; merupakan salah satu elemen pembelajaran secara aktif, dimana mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil 5 – 10 orang untuk mendiskusikan bahan dari dosen

2. Simulation; adalah model yang membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya kedalam kelas. Bentuk simulasi: (a) Role Playing (permainan peran), (b) Simulation games, (3) Model computer. Tujuannya untuk mempraktikan kemampuan umum dan khusus baik secara individual maupun tim

3. Case study; adalah metode belajar yang difokuskan pada pendalaman kasus secara dengan karakteristik spesifik.

4. Discovery learning (DL); adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia baik dari dosen maupun dicari sendiri oleh mahasiswa. Tujuannya untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri

5. Self directed learning (SDL); adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu mahasiswa sendiri, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pengalaman belajar yang telah dijalani. Dosen bertindak sebagai fasilitator dengan memberi arahan, bimbingan dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar.

6. Cooperative learning (CL); adalah metode belajar berkelompok yang dirancang oleh dosen untuk memecahkan suatu masalah/ kasus atau mengerjakan suatu tugas. Kelompok ini terdiri atas beberapa orang mahasiswa dan mempunyai kemampun akademik beragam. Metode ini merupakan paduan antara teacher centered dan student centered learning.

7. Collaborative learning (CBL); Metode belajar yang menitik beratkan pada kerjasama antara mahasiswa yang didasarkan oleh konsensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok walaupun tugas/ masalah/ kasus berasal dari dosen.

8. Contextual instruction (CI ); merupakan konsep belajar yang membantu dosen mengaitkan isi mata kuliah dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi mahasiswa untuk membuat keterhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat, profesional enterepreneur maupun investor

9. Project based learning (PJBL); Metode belajar yang sistematis, yang melibatkan mahasiswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian/ penggalian (inquiry) yang panjang dan terstruktur.

10. Problem based learning (PBL); adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus melakukan pencarian/ penggalian informasi (inquiry) untuk memecahkan masalah tersebut.

Selanjutnya, peran dosen dalam penggunaan metode berbasis SCL adalah:

1. Bertindak sebagai fasilitator;

2. Mengkaji kompetensi mata kuliah yang perlu dikuasai mahasiswa;

3. Merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut mata kuliah;

4. Membantu mahasiswa mengakses informasi;

5. Mengidentifikasi dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa.

Akhirnya, sebaik apapun kurikulum yang telah dirancang sebagai guiding instruction tidaklah dapat diimplementasikan, jika dosen tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan dalam memilih dan memilah metoda pembelajaran yang relevan dan akurat. Untuk itu, menjadi suatu keniscayaan bagi dosen untuk senantiasa melakukan pembaruan dalam melaksanakan proses pembelajaran.

PENUTUP

Reformasi pendidikan nasional telah digulirkan sesuai dengan visi reformasi, yakni mewujudkan masyarakat yang cerdas. Mewujudkan masyarakat yang cerdas perlu dilakukan melalui suatu proses pendidikan yang dapat mengakomodir tuntutan perubahan dan tantangan yang dihadapi suatu bangsa. Hal tersebut direspon dengan adanya perubahan kurikulum yang diberlakukan bagi jalur dan jenjang pendidikan yang ada. Kurikulum berbasis kompetensi sebagai upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan , baik secara makro, meso, maupun mikro.

Apa yang tertuang dalam konsep kurikulum Berbasis kompetensi (KBK) perlu diantisipasi oleh berbagai stakeholder yang terlibat dalam pendidikan. Untuk itu perlu perubahan yang cukup mendasar dalam menyiapkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan optimal terkait KBK.

Dalam konteks otonomi perguruan tinggi, kesempatan pengembangan KBK sangat memungkinkan. Setiap perguruan tinggi diberi kewenangan untuk mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi yang dimilikinya ke arah peningkatan efisiensi, efektivitas, dan kualitas pendidikan. Selain itu, perguruan tinggi juga dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat dalam membentuk pribadi mahasiswa. Hal ini berarti terjadi interaksi sinergis antar berbagai komponen yang dapat memberi nilai tambah terhadap eksistensi mahasiswa dalam dimensi lokal, nasional maupun global.

Otonomi perguruan tinggi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu sesuai visi dan misinya dengan memanfaatkan keunikan atau kekhasan masing-masing perguruan tinggi. Perguruan Tinggi mengemban tugas mulia, yaitu memelihara dan menjunjung tinggi peradaban manusia yang tercermin dalam jati diri suatu masyarakat. Oleh karena itu, perguruan tinggi dalam menerapkan competence based curriculum harus senantiasa diimbangi dengan content based curriculum yang dapat berisi nilai-nilai budaya luhur bangsa. Dalam implementasi di kelas tentu sangat didukung dengan ketepatan memilih metode dalam pembelajaran. Pembelajaran sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain : Facilitating, Empowering, dan Enabling untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan pada sumber belajar.

Bandung, 29 Juli 2009
SMS Gratis