(ISI Denpasar)
Diberikan pada acara Semiloka Nasional Pengembangan Karakter Bangsa, 28-30 Juli 2009
Universitas Widyatama Bandung
untuk file pdf nya dapat di donload di siniI. PENDAHULUAN
Pendidikan harus membentuk nilai dan karakter bangsa yang kuat. Pendidikan di Indonesia tidak boleh hanya terkait dengan transfer ilmu dan teknologi, namun juga harus mampu membentuk nilai serta karakter bangsa. Terus pertanyaan kita “Karakter bangsa yang bagaimana yang kita cita-citakan”?
Sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 2, bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Begitu pula Ki Hajar Dewantara dengan sebutan Bapak Pendidikan Nasional, dengan sistem pendidikan yaitu sistem among, tujuan pendidikannya adalah (1) meningkatkan kemandirian, (2) menumbuhkan semangat dan rasa kebangsaan, dan (3) berakar pada kebudayaan nasional (dalam Fuad Hassan, 1989).
Dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Dari unsur-unsur kebudayaan yang universal, memang ada satu diantara ketujuh unsur kebudayaan bisa dikembangkan secara khusus, yaitu kesenian (Koentjaraningrat, 2004). Kesenian di Indonesia yang berciri kebhinekaan merupakan kekayaan yang tiada taranya. Mungkin orang berkata bahwa dalam hal ilmu dan teknologi kita masih tertinggal dibandingkan dengan perkembangan mutakhir, tapi mustahil ungkapan itu diterapkan dalam kehidupan kesenian kita (Fuad Hassan,1989).
Oleh karena itu kesenian yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa merupakan persoalan strategis, karena dapat menentukan kerangka budaya dan karakter bangsa untuk memperkokoh kepribadian bangsa dan ketahanan budaya nasional. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengembangan karakter yang dituju adalah karakter yang memiliki fondasi yang kokoh dengan landasan nilai-nilai budaya bangsa yang adiluhung untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif (Rai, 2005). Pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana Pengembangan Karakter Bangsa lewat Seni?” Nah, hal inilah yang kita diskusikan pada pertemuan yang baik ini.
II. PEMBAHASAN
1. Apakah Seni itu?
Seni adalah ekspresi jiwa manusia (seniman) yang diwujudkan dalam bentuk karya seni tertentu (kesenian). Sebagai salah satu unsur penting dari kebudayaan, kesenian berkaitan erat dengan unsur-usur kebudayaan yang lainnya. Pada dasarnya kesenian dapat digolongkan menjadi empat kelompok utama, yaitu: (1) seni pertunjukan; (2) seni rupa; (3) seni media rekam; (4) seni sastra. Masing-masing kelompok memliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri yang membedakannya antara kelompok seni yang satu dengan yang lainnya. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Seni pertunjukan adalah seni yang ekspresinya dilakukan dengan jalan dipertunjukan, karenanya seni ini bergerak dalam ruang dan waktu. Oleh sebab seni pertunjukan bergerak dalam ruang dan waktu, maka ia merupakan seni yang sesaat, seni yang tidak awet dan hilang berlalu setelah seni itu dipentaskan. Seni pertunjukan meliputi seni tari, seni musik, seni pencak silat, dan seni drama (teater).
- Seni rupa adalah seni yang ekspresinya tertuang ke dalam dua dan tiga dimensi, dan bentuk seni mempunyai rupa (visual) dan lazimnya bersifat statis. Wujud seni rupa meliputi seni lukis, seni patung, seni grafis, seni kriya, seni reklame, seni arsitektur, dan seni dekorasi.
- Seni media rekam adalah seni audio visual yang wujudnya dihasilkan oleh adanya rekaman seni dengan menggunakan alat-alat elektronik. Seni media rekam meliputi film, video, dan seni audio komputer lainnya.
- Seni sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Seni sastra meliputi: puisi, roman, cerita pendek, epik, lirik, termasuk juga seni resitasi (Bandem, 1996:1).
Berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik serta keunggulan-keunggulan yang dimiliki bidang kesenian tersebut di atas, maka kesenian yang merupakan salah satu bidang studi di sekolah-sekolah mulai diberikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pada tingkat pendidikan menengah, bahkan sampai pada tingkat pendidikan tinggi. Adanya materi bidang studi kesenian yang dipelajari pada kurikulum pendidikan dasar maupun pada pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi berfungsi untuk membekali generasi muda dengan nilai-nilai budaya, sikap serta pembentukan kepribadian yang diharapkan mampu melestarikan dan menghargai hasil karya budaya bangsanya dan dapat mempengaruhi pribadi yang mempunyai relevansi terhadap pendidikan serta dapat mewujudkan nilai apresiasi seni. Pencatuman seni dalam program-program pendidikan dapat difungsikan untuk membantu pendidikan, khususnya dalam usahanya untuk menumbuhkembangkan peserta didik agar menjadi utuh, dalam arti cerdas nalar serta rasa, sadar rasa kepribadian serta rasa sosial, dan cinta budaya bangsa sendiri maupun bangsa lain (Soehardjo, 2005). Lebih lanjut Wayan Rai ( 2008) menyebutkan bahwa seni mengandung keindahan bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan keindahan bentuk adalah keindahan berupa wujud dari seni itu, sedangkan keindahan isi meyangkut nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang sifatnya abstrak
2. Peran Pendidikan Seni
Peran pendidikan seni dapat berfungsi sebagai pendekatan dalam belajar, sehingga melalui penerapan pendidikan seni dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik untuk mencapai keseimbangan yang dikehendaki. Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural (Diknas, 2006).
a. Peran Multidimensional
Peran pendidikan seni secara tidak langsung dirasakan oleh peserta didik melalui pendekatan yang bersifat multidimensional, yang berarti melalui pendidikan seni menumbuhkan dan mengembangkan berbagai kemampuan dasar peserta didik. Lowenfeld dan Brittain (dalam Kamaril, 1998) menjelaskan bahwa melalui kegiatan seni, peserta didik dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk belajar. Konsep tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang dikemukakan oleh Herberd Read dalam bukunya, Education through Art.
Lowenfeld (1975) menyebutkan bahwa “The art process helps the individual grow aesthetically, perceptually, intellectually, emosionally, creatively and technically”, dapat diterjemhkan, “Kegiatan seni dapat membantu individu dalam perkembangan estetik, perseptual, intelektual, emosional, daya cipta, dan teknik”. Berdasarkan hal tersebut di atas, kecerdasan peserta didik pada dasarnya mampu dioptimalkan melalui pendidikan seni yang mencakup fisik, persepsi, pikir (intelektual), emosi (emosional), daya cipta (kreativitas), sosial dan estetika.
Pengembangan Fisik. Dalam kegiatan work shop, kemampuan peserta didik dapat dikembangkan melalui kemampuan praktik dan teknik seni. Ungkapan seni memberi pemahaman secara utuh bahwa kekuatan fisik merupakan sumber kualitas dalam pengungkapan ekspresi gerak tari. Kemampuan motorik (kasar dan halus) terpadu sesuai dengan kehendaknya. Pada dasarnya kemampuan motorik untuk melakukan gerakan secara fisik dari peserta didik dilatih untuk memahami segmen tubuh sebagai bahan ekspresi atau kekuatan fisik. Tubuh sebagai bahan perlu dipahami karakteristiknya serta kekuatan-kekuatan sinergi yang mempunyai sifat dan kekuatan dinamik. Pengembangan motorik peserta didik juga dilatih mengolah kemampuan koordinasi ke dalam gerak motorik dengan sensibilitas secara total (penglihatan, pendengaran, dan kepekaan rasa) dalam rangkaian peristiwa atau karakter yang akan diungkapkan terwujud keterpaduan dan dari masing-masing unsur seni yang menjadi satu kesatuan (gerak tari, iringan, ekspresi/karakter, busana, lighting/pencahayaan) dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa dalam proses pendidikan seni seluruh segmen kepekaan indra dapat difungsikan. Untuk melaksanakan pendidikan seni dapat pula dilakukan kegiatan mengukur, menganalisis dan mensintesis melalui kemampuan berfikir. Hal yang perlu direnungkan kembali melalui pendidikan seni adalah bagaimana untuk mengantisipasi memotivasi tentang: pengembangan emosional anak, dan pengembangan sikap sosial anak.
Pengembangan Persepsi. Kegiatan berolah seni dapat mengembangkan kemampuan sensorik peserta didik dalam menanggapi pengalaman kehidupan melalui indranya, sehingga kepekaan indra peserta didik dapat berkembang dengan baik, kepekaan anak terlatih dan merupakan modal yang penting untuk kegiatan belajar. Dengan ketajaman persepsi, anak akan mampu menangkap atau merespon gejala-gejala peristiwa yang terjadi atau yang dihadapi saat itu, ditangkap dan dicermati dengan totalitas jiwanya. Oleh karena, itu kemampuan pengetahuan persepsi ini merupakan dasar bagi peserta didik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Maka melalui kegiatan seni akan termotivasi tentang peningkatan kemampuan daya serap anak dalam kegiatan belajar.
Pengembangan Pikir. Aktivitas seni dapat mengembangkan kegiatan berpikir anak. Hal ini terbukti dengan kemampuan peserta didik dalam mengaktualisasikan pengetahuan yang dimiliki dengan menunjukkan keterkaitan dirinya dengan lingkungannya. Melalui kegiatan pengamatan/apresiasi lingkungan sekitar atau objek yang dia lihat, maka anak akan mengembangkan kesadaran secara aktif, motivasi peristiwa ini secara tidak langsung dapat berpikir kritis. Dengan demikian, kecerdasan peserta didik dalam pengembangan berpikir kritis merupakan dasar dalam kegiatan belajar.
Pengembangan Emosi. Kegiatan berkarya seni merupakan ungkapan emosional anak secara terkendali, yang dapat dilakukan secara spontan atau terstruktur (terkendali). Berarti gejala jiwa paling dalam disadari anak untuk melakukan tindakan. Oleh sebab itu, peserta didik yang mampu mengungkapkan emosi dengan baik akan membuahkan imajinasi, gagasan, berpikir secara terbuka dan fleksibel. Emosi peserta didik apabila dilatih dengan terkendali dan benar akan menumbuhkan kecerdasan emosi. Mengembangkan kesadaran dan kecerdasan emosi sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar.
Pengembangan Daya Cipta. Kegiatan berkarya seni merupakan perwujudan kreativitas dalam penciptaan seni. Kreativitas/daya cipta pada dasarnya merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya akan membias pada pengembangan peradaban manusia (peserta didik). Peradaban itu sendiri merupakan hasil pemikiran yang kreatif. Pendidikan seni idealnya mempunyai kata kunci yaitu pengembangan kreativitas (tentang imajinatif, sensibilitas dan kebebasan) untuk memberi peluang kepada peserta didik dalam proses pengembangan kreativitas. Kreativitas peserta didik dilatih agar mampu mengakumulasikan atau menata unsur-unsur seni menjadi karya seni yang harmonis. Melalui kegiatan berkarya seni (tindakan kreativitas) anak mampu menciptakan dengan mengolah ketajaman perasaan dan kemampuan berpikir kreatif (creative quotient), yang merupakan landasan dasar kegiatan belajar.
Pengembangan Sosial. Kegiatan berolah seni dapat mengembangkan sikap dan perilaku anak dalam bersosialisasi dengan orang lain atau lingkungan (dalam keluarga/masyarakat). Selain itu peserta didik termotivasi untuk dapat berorganisasi atau bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain atau karya orang lain. Sikap dan perilaku ini dalam pendidikan seni dilatih untuk peka terhadap kondisi sosial di sekitarnya, sebab dalam proses kehidupan seni (baik praktik maupun teori) akan terjadi komunikasi dengan masyarakat (sebagai pelaku, penikmat bahkan pendidik). Dengan kemampuan sosial peserta didik dilatih untuk memahami segala situasi dan kondisi yang dialami sebagai hal yang positif (adversity quotient) merupakan landasan dasar untuk mengembangkan kepribadian.
Pengembangan Estetika. Kegiatan berkarya seni merupakan proses untuk mendapatkan pengalaman estetis. Dengan mengolah kemampuan peserta didik dalam menata unsur-unsur seni berdasarkan konsep estetis diharapkan dapat dicapai keselarasan berpikir. Oleh sebab itu, perlu dikenalkan dan dipahami tentang latar belakang budayanya, agar pengembangan perasaan keindahan dapat terlatih. Pengalaman dan kegiatan semacam ini, selain dapat memperkaya pengalaman jiwa/batin para peserta didik, juga diharapkan mampu memacu ketajaman kepekaan estetika dan artistik mereka. Dengan bekal pengalaman estetika peserta didik diharapkan dapat menafsirkan dan mengerjakan sesuatu untuk kesadaran terhadap nilai-nilai keindahan dalam pengembangan kepribadian yang berbudi luhur.
Pengembangan Bakat. Bakat sebenarnya merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia sejak lahir. Dalam konteks pemahaman seni bakat tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak ada upaya/untuk mengasuhnya. Dalam proses pendidikan seni bakat peserta didik akan tampak melalui kreativitasnya. Dengan kreativitas diharapkan peserta didik akan termotivasi dan berminat untuk melakukan kegiatan seni. Ditunjang dengan kemampuan pribadi untuk mau melakukan dan berlatih mengenal bentuk-bentuk seni akhirnya peserta didik mempunyai sikap terbuka untuk menerima bentuk-bentuk seni tersebut. Pada akhirnya cenderung memilih mana yang paling lekat dengan jiwanya (disukai). Dari peristiwa/proses inilah bakat peserta didik bisa diamati.
b. Peran Multilingual
Seni merupakan bahasa, berarti pendidikan seni bertujuan mengembangkan kemampuan berekspresi dengan segala cara dengan memakai bahasa seni dan keterpaduannya. Peran pendidikan seni sifatnya multilingual. Melalui pendidikan seni peserta didik mampu berkomunikasi melalui beragam bahasa (baik verbal maupun nonverbal), diharapkan juga mampu memanfaatkan bahasa rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Goldberg (dalam Kamaril, C.1999) menyatakan bahwa seni adalah cermin hidup dan cermin realitas, termasuk hidup dan realitas anak (peserta didik) dalam seni terhadap bahasa estetika dan simbolis, yang mampu menghadirkan pencitraan terhadap suatu keadaan tertentu.
Pendidikan seni mempunyai peran untuk mengembangkan berbagai kompetensi dasar yang dimiliki peserta didik dalam kegiatan ekspresi seni. Peran pendidikan seni yang bersifat multilingual secara integratif dapat dipahami melalui beberapa media yaitu media ekspresi, komunikasi, eksplorasi.
Media Ekspresi. Bagi peserta didik hal yang terpenting adalah kebebasan mengungkapkan perasaannya. Dengan berekspresi akan selalu terkait unsur: emosi, pikir, imajinasi dan kegiatan-kegiatan yang tanpa memperhatikan apakah pengungkapannya itu diterima orang lain atau tidak. Sikap kebebasan dan kepuasaan dapat mendominasi pribadinya. Sebagai media ekspresi, peserta didik dalam ungkapan seni betul-betul perlu memahami karakternya dan mampu mengutarakan gagasan yang ingin dicetuskan melalui bahasa seni (gerak-tari), (rupa-lukisan), serta keterpaduannya berbagai bahasa seni.
Media Komunikasi. Media komunikasi dapat digunakan sebagai media pendidikan seni, komunikasi antara peserta didik dan pengajar atau orang lain. Komunikasi adalah suatu cara untuk berhubungan dalam rangka tertentu kepada orang lain. Dalam komunikasi terdapat unsur-unsur pengirim pesan, isi pesan, penerima pesan (Kamaril, 1998:123). Dalam proses komunikasi seni, pesan disampaikan oleh seorang pencipta seni berupa gagasan/ide estetik yang diungkapkan ke dalam simbol gerak, bunyi, rupa dan peran dalam bentuk (mimik) wajah. Pesan tersebut ditujukan kepada orang lain atau penghayat/penikmat. Suatu proses itu terjadi jika ada pesan, ada isi pesan dan ada yang dimengerti oleh penerima pesan tersebut.
Proses Komunikasi Seni
Media Bermain/Bereksplorasi. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan kesenangan tanpa memperhitungkan hasil akhimya. Dunia anak dinyatakan sebagai dunia bermain, melalui bermain/bereksplorasi anak dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia di sekitarnya (Hurlock dalam Kamaril, 1998). Media bermain/bereksplorasi dalam seni berupa kegiatan berekspresi peserta didik mengungkapkan gagasannya. Mereka termotivasi dengan ungkapan bermain/berekplorasi gerak-gerak tertentu disebut menari yang didukung alat musik sebagai pengiring atau keterpaduannya. Sama halnya dengan pembahasan tentang bermain/bereksplorasi gerak-gerak tertentu disebut menari yang didukung dengan pembahasan tentang bereksplorasi unsur musik, rupa atau peran. Pada dasarnya bermain/bereksplorasi dapat membangkitkan kesenangan minat belajar pada peserta didik terhadap seni. Dalam proses, peserta didik bisa meniru setelah dia mengamati objek sebagai persepsi. Setelah itu melakukan pemilihan/penjelajahan, dalam sikap selektif apa yang dibutuhkan sebagai media sarana yang mewadahi, untuk membangun kondisi tertentu dalam kegiatan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok (kerja sama).
c. Peran Multikultural
Melalui pendidikan seni dengan pendekatan multikultural menurut Gyorgy Kepes (dalam Sustiawati, 2008) menyebutkan, bahwa sifat multikultural berperan mengembangkan kepekaan sosial anak, menanamkan kesadaran akan adanya perbedaan dan keanekaragaman budaya. Pendidikan seni dengan pendekatan yang bersifat multikultural adalah menjalin, menghargai, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap keragaman budaya yang pluralis, baik budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain. Paradigma yang hendak dikembangkan dalam pendidikan seni multikultural hendaknya bisa berkembang seiring dengan hak dan keragaman latar belakang peserta didik sebagai pribadi yang belajar bersama-sama, hendaknya saling menghargai toleransi, demokrasi dan hidup rukun dalam masyarakat budaya yang majemuk.
Multikultural berarti keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Keragaman diharapkan menjadi dasar pemersatu bangsa Indonesia, mengingat bangsa Indonesia memiliki keragaman etnis dengan pola tradisi idealisme yang berbeda-beda, yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, peran pendidikan seni yang bersifat multikultural bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global. Diharapkan dengan kesadaran hidup akan terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas, terbuka dan bijaksana.
2. Seni Sebagai Identitas dan Perekat Bangsa
Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa lainnya, dengan adanya ciri-ciri yang berbeda itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri sehingga akan mampu memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Salah satu peluang untuk menyatakan identitas-diri ini adalah melalui kegiatan seni. Kegiatan seni dianggap potensial oleh karena mampu mengekpresikan identitas-diri kelompok secara alamiah. Melalui seni, simbol budaya, mitos, keyakinan, dan harapan dari suatu kelompok dapat dinyatakan secara efektif dan otentik. Seni sebagai pemberi identitas maksudnya adalah melalui kekayaan seni budaya Indonesia kita mampu menunjukkan jati diri bangsa Indonesia di tengah budaya global.
Indonesia memiliki berbagai suku dengan sejarah dan latar belakang budaya yang sangat beragam. Hal tersebut tercermin pula dari keragaman bentuk dan sifat kesenian yang muncul serta dapat kita warisi hingga saat ini. Sebagai ekspresi dari masyarakat pendukungnya, kesenian mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Kekayaan seni budaya Nusantara telah mampu memberikan kita sebuah kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berbudaya tinggi.
Namun beberapa dekade terakhir ini berbagai krisis yang menimpa bangsa Indonesia sungguh sangat memprihatinkan kita. Berita-berita tentang semakin merosotnya nilai kebangsaan, persatuan dan kebersamaan hampir setiap hari disuguhkan oleh media cetak maupun elektronik. Masalah itu masih ditambah lagi dengan semakin merosotnya nilai etika dan moral, arogansi, pengalahgunaan obat-obat terlarang, tawuran, terorisme, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya sudah sedemikian rapuhkah rasa persatuan dan kesatuan serta mentalitas anak bangsa kita? Sekiranya memang benar demikian adanya. Bagaimanakah caranya merekat?
Dalam situasi seperti ini, seni dapat dipergunakan sebagai salah satu perekat. Untuk itu potensi seni budaya kita perlu dioptimalkan, terus dipertahankan dan dikembangkan secara kreatif, sehingga dapat menumbuhkan rasa solidaritas baik sesama bangsa Indonesia maupun dengan bangsa lainnya didunia. Melalui Sekaa, Sanggar, Banjar, Sekolah, dan aktivitas seni budaya seperti Pesta Kesenian, Pesta Seni Remaja, Festival Seni, Gelar Seni, dapat dipergunakan untuk menanamkan nilai budaya bangsa. Dengan penanaman nilai tersebut lewat seni, maka akan dapat memberikan landasan serta dapat dipergunakan untuk beraktivitas secara positif.
Sebagai salah satu contoh (dalam paper Rai, 2005) dikemukakan sebuah even daerah yang kini sudah menjadi even Nasional dan Internasional yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB). Pesta Kesenian yang merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Bali mulai dilaksanakan pada tahun 1978 atas gagasan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm), Gubernur Bali pada waktu itu. Ada lima jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam PKB yaitu: pawai pembukaan, pagelaran, pameran, lomba, dan sarasehan, PKB dilaksanakan sekitar satu bulan penuh mulai pertengahan Juni hingga pertengahan Juli. Tahun ini pelaksanaan Pesta Kesenian Bali sudah memasuki tahun yang ke-31. Salah satu aspek yang perlu dikemukakan di sini adalah bagaimana antusiasme masyarakat Bali khususnya (tua, muda, anak-anak) dalam mempersiapkan diri guna bisa berpartisipasi dalam PKB yang dipusatkan di Taman Budaya Denpasar (dan disebar ke beberapa daerah Kabupaten/Kota). Persiapan berupa latihan-latihan kesenian baik kesenian tradisi maupun modern dilakukan berbulan-bulan lamanya. Setelah waktunya tiba, maka kegiatannya akan dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan terakhir yang terpilih sebagai unggulan kabupaten/kota akan tampil di Denpasar. Apabila diamati yang terpenting di sini bukanlah semata-mata produk akhirnya, melainkan proses yang telah dilalui mulai dari perencanaan, latihan, hingga terwujudnya suatu bentuk kesenian yang diinginkan. Dalam proses seperti ini telah terjadi, tidak saja kemampuan berupa keterampilan teknis, melainkan juga adanya penanaman nilai-nilai budaya, pencarian identitas, sekaligus merekatkan seniman, masyarakat, pemerintah, dan unsur-unsur terkait lainnya, di mana hasilnya akan dapat dijadikan sebuah kebanggaan. Sesuai dengan kenyataan yang ada, telah terbukti pula bahwa melalui kegiatan kesenian seperti ini telah memberikan dampak yang positif. Misalnya saja anak-anak muda di beberapa desa atau tempat di Bali yang sebelumnya sering membuat ulah hingga cukup memusingkan keluarga maupun masyarakat, akhirnya dengan bangga mampu menampilkan kebolehannya di atas pentas guna mempertaruhkan nama desa serta kabupatennya di arena PKB. Mereka telah memiliki predikat baru yaitu dari anak jalanan ke anak panggung.
Yang patut dicatat pula bahwa dari kenyataan yang ada, grup atau sekaa yang tampil di PKB itu bukanlah seniman Bali saja, melainkan juga seniman dari beberapa daerah di Indonesia maupun seniman mancanegara. Para seniman kita yang sudah pernah tampil di PKB di antaranya berasal dan Sumatera Barat, Aceh, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Maluku, Sulawesi, Papua, Kalimantan, dan seniman dan daerah lainnya di Indonesia. Para seniman mancanegara yang sudah pernah tampil di PKB, seperti Grup dan Jepang, Ameriika Serikat, Eropa, Australia, India, Korea, Singapura, dan lain-lainnya, selain telah dapat memperkenalkan keunikan kesenian negaranya masing-masing, juga telah mampu mempertunjukkan kebolehannya membawakan kesenian Indonesia baik yang tradisional maupun modern. Grup kesenian, seperti Gamelan Sekar Jaya dari Amerika Serikat, Sekar Jepun dan Yamashiro Gumi dari Jepang merupakan beberapa contoh yang dimaksud. Lewat ajang seperti ini tentu akan terjadi interaksi yang positif antara sesarma seniman Indonesia maupun antara seniman Indonesia dengan rekan kita dan luar negeri.
Salah satu contoh lagi yang perlu dikemukakan di sini adalah apa yang pernah dialami Bapak Prof. Dr Wayan Rai S, MA (sekarang Rektor ISI Denpasar), ketika mengikuti Cherry Blossom Festival di Washington DC, Amerika Serikat pada tahun 1996 pada waktu itu Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia Washington DC, terpilih sebagai salah satu peserta. Setelah melalui penilaian yang sangat ketat, panitia menyatakan berhak mengikuti Festival Internasional yang sangat bergengsi itu, maka persiapan pun dilakukan oleh pihak KBRI yang koordinator serta pelatihnya pada waktu itu adalah Bapak I Gusti Agung Ngurah Supartha, SST, dari KBRI Washington DC. Setelah perencanaan dibuat secara matang dan disetujui oleh panitia festival, maka dikumpulkanlah semua masyarakat Indonesia yang ada disekitar Washington DC baik itu siswa, mahasiswa, pegawai maupun yang lainnya. Pada saat pertemuan pertama diadakan di salah satu ruang latihan di komplek KBRI berbagai komentar saya dengar: tugasku opo? Wong aku tak pernah nari kok. Yang lain menimpali: aduh & don’t worry & pakai aja pakaian tari itu (sambil menunjuk ke pakaian tari yang tergantung disebelahnya) nggak ada orang tahu kok. Ada juga yang berkata: aku sudah latihan tari Jawa sejak kemarin, akhirnya pernah juga aku belajar tarian Indonesia di Amerika, & malu diikalahkan sama bule. Singkat cerita, melalui kegiatan seperti ini kita bisa saling kenal dan dapat bertukar pikiran serta pengalaman dengan sesama orang Indonesia di Washington DC. Pada waktu hari H, terlihat rekan-rekan kita dengan sangat bangga menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika melalui busana dan berbagai bentuk kesenian dari Sabang sampai Merauke. Para penonton pun tampak kagum akan kekayaan seni budaya kita. Ketika salah seorang dan penonton bertanya where are you from? tanpa dikomando rekan-rekan kita menjawab INDONESIA.......
3.Bagaimanakah Peranan Perguruan Tinggi Kita?
Dalam HELTS (Higher Education Long Term Strategy, 2003- 2010) dengan tegas telah dinyatakan bahwa:
Art, particularly that is rooted at noble indigenous tradition and culture, is critical for strengthening the nation’s character in addition to personal growth for developing creativity and innovation [Zainuddin, 1994]. Therefore, the development of art education is strategic. Art education should be crafted to bring about common outcomes through academic approaches that tolerate flexible learning environment, different teaching styles, and classroom practices based on variety of pedagogical methods. The art education should be capitalized to benefit the entire education sector, and at the same time, improve the nation’s competitiveness. In order to fulfill such demands, the existing art education, including curriculum design and staff development, need to be reform; whereas the appropriate learning facility research focus need to be aligned (HELTS, 2003:13-14).
Selanjutnya dalam konsep pendidikan yang holistik, Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. menekankan betapa pentingnya Olah Pikir, OIah Raga, Olah Rasa dan Olah Kalbu sehingga akan menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif. Potensi Indonesia yang ditunjukkan lewat supremasi olah rasa dengan ungkapan estetis yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk karya seni merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya (dalam Rai, 2005)
ISI Denpasar sebagai salah satu Perguruan Tinggi Seni melalui visinya yaitu menjadi pusat penciptaan, pengkajian, penyaji, dan pembinaan seni yang unggul berwawasan kebangsaan demi memperkaya nilai-nilai kemanusiaan sesuai perkembangan zaman, terus berusaha sebagai agen konservasi dan agen perubahan untuk memanfaatkan seni budaya sebagai salah satu sarana pemberi identitas dan perekat bangsa dalam menghadapi jaman globalisasi ini serta untuk meningkatakan daya saing bangsa.
Seperti yang diceritrakan Bapak Wayan Rai, S (sekarang Rektor ISI Denpasar) bahwa aset seni budaya kita, kini tidak saja milik bangsa Indonesia melainkan sudah merupakan milik dunia, Sejak tahun 1950-an kesenian Indonesia telah masuk Universitas terkemuka di Amerika Serikat. Prof. Dr Ki Mantle Hood, salah seorang tokoh Ethnomusicology dunia, telah memasukkan kesenian Indonesia ke dalam kurikulum Institute of Ethnomusicotogy, di University of California Los Angeles (UCLA). Lewat konsep bi-musicality kesenian Indonesia telah dipelajari oleh mahasiswa yang berasal dan berbagai negara. Sejak itulah kesenian Indonesia menyebar ke berbagai kampus, kota, dan berbagai tempat di benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia. Berdasarkan catatan yang dibuat Ear Magazine, New York, di Amerika Utara saja sudah terdapat lebih dan 200 set gamelan (musik tradisi Indonesia) yang dimiliki oleh kampus, yayasan, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsultan Jendral RI, dan perseorangan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika gema seni budaya Indonesia ikut mewarnai kehidupan kampus-kampus terkemuka di dunia seperti University of California Los Angeles (UCLA), California Institute of the Arts, San Diego State University, University of California San Diego (UCSD), University of California Santa Cruz, University of Berkeley, University of Washington, Seattle, Mills College, University of Michigan, University of Denver, Colorado, University of Maryland, Baltimore County, University of Maryland College Park, Hollycross College, Boston, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Swarthmore College, Cabnini College (Philadelphia), Dartmouth College, Wesleyan University, University of South Florida, University of Hawaii (semuanya di Amerika Serikat); University of British Columbia (UBC), University of Montreal (Canada); Universitas Katolik (Peru); SOAS, London; Monash University, Northern Territory University, Darwin, Tuwumba University (Australia), serta beberapa universitas terkemuka lainnya di Eropa dan Asia. Kelas-kelas seni budaya Indonesia itu tidak saja diambil dan diminati oleh para mahasiswa yang mayornya seni, melainkan juga ditawarkan sebagai Minor. atau kelas pilihan. Dan pengalaman saya mengajar di beberapa kampus di luar negeri ternyata kelas seni budaya Indonesia banyak diminati oleh para mahasiswa yang berasal dan Computer Science, Architecture, Psychology, Comparative Religion, dan sebagainya. Masalahnya sekarang, BAGAIMANA DENGAN KITA Dl INDONESIA?
III. PENUTUP
Sebagai akhir dan presentasi ini, bahwa untuk menyongsong peradaban dan persaingan global yang penuh dengan dinamika dan tantangan, spiritualitas watak kebangsaan (istilah dari mantan Mendiknas, Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar) sudah sepatutnya dan sangat perlu untuk diperteguh. Dalam hubungan ini kesenian sebagai salah satu unsur penting kebudayaan dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Seni dapat memberikan jati diri yang mampu memberikan kebanggaan dengan identitas lokal dan nasional dalam konteks global. Selain itu melalui kegiatan kesenian, di samping dapat menikmati keindahan bentuk serta penampilannya, kita akan dapat menikmati keindahan isinya berupa nilai-nilai budaya yang luhur sehingga diharapkan akan tumbuh rasa saling harga menghargai, rasa saling pengertian, hormat menghormati, rasa kebersamaan, demokrasi, dan lain-lain untuk mencegah atau meminimalkan konflik yang terjadi di masyarakat. Dengan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki jati diri, watak kebangsaan yang teguh dan kualitas yang tinggi, kita percaya dapat bersaing pada era kesejagatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Yogyakarta: Pustaka Sinai Harapan, 1984.
Atmaja, Nengah Bawa. 2006. Menggali Potensi Kebudayaan Etnik, Kebudayaan Nasional Dalam Konteks Kebudayaan Global. Makalah disampaikan dalam seminar memperingati Dies dan Wisuda Sarjana/Pascasarjana UNHI, Denpasar, 30 Septembner.
Bandem, I Made and Fredrik Eugene deBoer. 1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996.Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Bandem, I Made.1996. Peranan Seniman Dalam Pembangunan Nasional . Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan di Jakarta.
Buchori, M. 2002. Pendidikan Pluralisme untuk Pendewasaan Kehidupan Berbangsa. Makalah Workshop Pendidikan Apresiasi Seni: Merayakan Keanekaragaman Budaya Nusantara: PSB-PSUMS.
Darma Putra & Windhu Sancaya, eds. 2005. Kompetensi Budaya dalam Globalisasi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan,
Depdiknas, 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Menegah Pertama. Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Sekolah Mengenah Pertama, Jakarta.
Dibia, I Wayan. 2001. “Pluralisme Budaya Sebagai Potensi Membangun Indonesia Baru”. Makalah disajikan di dalam Seminar Plurasilme Budaya Dalam Kehidupan Bangsa, Dalam rangka Festival Kesenian Indonesia II, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia, tanggal 3 April 2001: Padang Panjang.
Dibia, I Wayan., FX. Widaryanto., Endo Suanda. 2006. Tari Komunal. Buku Pelajaran Kesenian Nusantara Untuk Kelas XI. Edisi Uji Coba PSN 2006. Jakarta: Pendidikan Seni Nusantara.
Directorate General of Higher Education, Ministry of National Education Republic of Indonesia. Higher Education Long Term Strategy 2003-2070.
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan, 2004. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni di lndonesia, Ditjen Dikti, Depdiknas.
Djoko Damono, Sapardi (editor dan penulis artikel). 2000.Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000. Surakarta: Yayasan Kelola,
Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono, (ed). 1983. Seni dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Edi Sedyawati. 2001. Kebhinekaan dalam Wawasan Kebangsaan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional, Universitas Udayana Denpasar, Denpasar, 15 September.
Endo Suanda. 2005. Tari Tontonan : Buku Pelajaran Kesenian Nusantara. Untuk kelas VIII Buku Uji Coba PSN 2005.
Fuad Hassan, 1989. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Gong, 2004. “Lembaga Pendidikan Seni Nusantara: Pendidikan Seni Nusantara” Edisi 63/VI/2004. Yogyakarta: Yayasan Media, Seni dan Pendidikan Seni
Institut Seni Indoensia Denpasar. 2006. Panduan Studi. Denpasar: ISI Denpasar.
Jameson, Fredric, and Masao Misyoshi (ed). 1998. The Cultures of Globalization. Durham and London: Duke University Press.
Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. X-2000.
Kamaril, C. 1999. Konsep dan Sistem Pembelajaran Kesenian Terpadu di Sekolah Dasar: Modul 2. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1987. “Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional”. Dalam Alfian ed. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia. Halaman 99-141.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Pitana, I Gde (ed). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar Penerbit BOP
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Bali. Jakarta: Depdikbud.
Rai S., I Wayan. 2005. Seni Sebagai Identitas dan Perekat Bangsa. Makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Universitas Tri Sakti pada Seminar Tingkatkan Apresiasi Budaya Akademik dan Kedamaian dalam Masyarakat Bangsa, Jakarta 29 Nopember 2005.
Rai S., I Wayan. 2008. Peran Pendidikan Tinggi dan Pimpinan Daerah dalam Mengembangkan Local Genius, Makalah disampaikan di Pascasarjana Universitas Gajahmada, Yogyakarta 15 Desember 2008.
Soedarsono, 2000. “Apresiasi seni dan Budaya dalam Pendidikan” dalam Sindhunata ed., 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta : Kanisius.
Soehardjo, 2005. Pendidikan Seni dari Konsep sampai Program. Buku Satu, Malang: Balai Kajian Seni dan DesaĆn Jurusan Pendidikan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Suparlan, Parsudi. 2001. Bhineka Tunggal Ika-Keanekaragaman Suku Bangsa atau Kebudayaan? Makalah Seminar Menuju Indonesia Baru: Dari Masyarakat Majemuk ke Masyarakat Multikultural. Perhimpunan Indonesia Baru & Asosiasi Antropologi Indonesia, Yogyakarta:16 Agustus 2001.
Sustiawati, 2008. Pengembangan Manajemen Pelatihan Seni Tari Multikulkur Berpendekatan Silang Gaya Tari Bagi Guru Seni Tari SMP Negeri Di Kota Denpasar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM.
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional-LIPI. 1997. Kapital Selekta Manifiestasi Budaya Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar