Bagi yang masuk ke blog ini melalui Search Engin dan tidak menemukan artikel yang di cari pada halaman ini maka dapat mencari pada arsip blog atau mengunakan fasilitas search yang ada di blog ini. terimakasih atas kunjungnnya.
bagi yang ingin bertanya sebaiknya langsng melalui YM apabila lagi online atau inggalkan coment di artikel yang bersangutan.

Promo : Transfer Pulsa Indosat (IM3/Mentari/StarOne) pulsa 100rb Harga 82rb (bisa untuk BB)

bagi yang berminat dapat hubungin YM : ivandriyandra atau sms ke no 085624060651. atau data update dapat liat di halaman ini http://indosat.yandra.web.id/

28 Juli 2009

KARAKTER MANUSIA UTAMA

Jaih Mubarok

(Guru Besar Hukum Islam UIN SGD Bandung; serta Peneliti Utama

Balitbang Diklat Kumdil MA RI)

Diberikan pada acara Semiloka Nasional Pengembangan Karakter Bangsa, 28-30 Juli 2009

Universitas Widyatama Bandung

untuk file pdf nya dapat di donload di sini

A. Pengantar

Dalam teori ekonomi internasional, suatu bangsa dapat dibedakan menjadi dua: a) bangsa yang memiliki keunggulan komparatif; dan b) bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif. Hal yang terbaik adalah bangsa yang memiliki keunggulan kompetitif; yakni bangsa yang “kaya” berdasarkan keunggulan sumber daya manusianya, bukan karena keunggulan alamnya semata.

Semiloka nasional yang diselenggarakan oleh Utama (Universitas Widyatama) yang didukung sejumlah uinversitas, termasuk Universitas Islam Bandung, diharapkan dapat “membedah” kontribusi Perguruan Tinggi terhadap konservasi identitas dan integritas bangsa dengan melakukan reaktualisasi dan reorientasi mata kuliah “Pengembangan Kepribadian Bangsa.” Topik yang lebih spesifik yang diamanahkan kepada saya adalah “peningkatan Sumber Daya Manusia melalui Pengembangan Mental-Spiritual.” Dengan tidak bermaksud mereduksi permintaan panitia, tulisan ini lebih fokus pada tawaran alternatif (bukan solutif) dari segi spiritual yang berbasis pada ajaran agama Islam.

B. Pengertian Karakter

Sepanjang literatur yang telah dibaca, kelihatannya terdapat hubungan yang saling berkelid-berkelindan antara materi mata kuliah akhlak dengan materi mata kuliah kepribadian yang disajikan di Perguruan Tinggi. Karakter (character) mengacu pada serangkaian: a) sikap (attitudes),[1] perilaku (behaviors),[2] motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Lebih lanjut, Musfiroah menegaskan bahwa karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (dari segi intelektual, sosial, emosional dan etika) yang berusaha melakukan hal-hal terbaik.[3] Oleh karena itu, kelihatannya antara pengertian keperibadian dan integritas dengan pengertian karakter juga saling berkelid berkelindan.

Seperti diakui banyak pihak, tidaklah mudah menegaskan secara konseptual mengenai kepribadian[4] yang sehat (baca: bukan kepribadian yang sakit); karena kondisi kesehatan mental bukanlah sesuatu yang absolut; tidak ada garis pemisah yang jelas antara sehat dan sakit. Pendekatan kesehatan mental digunakan untuk mengenal dan mempelajari orientasi penyesuaian diri seseorang; yang diutamakan adalah aspek-aspek psikis. Prinsipnya, pembentukan dan pertumbuhan kepribadian yang sehat dan matang banyak dipengaruhi oleh: a) motivasi, dan b) otonomi fungsional. Kepribadian yang sehat berarti kepribadian yang matang; dan kepribadian yang matang berarti kepribadian yang dewasa; sementara kedewasaan memiliki banyak/berbagai arti.[5]

Meskipun dijelaskan dengan cara yang berbeda-beda, dimensi keperibadian yang sehat dijelaskan dari segi: a) kedewasaan jasmani; b) kedewasaan intelektual; c) kedewasaan emosional; dan d) kedewasaan sosial.

Secara jasmani, orang dianggap dewasa apabila fisiknya tumbuh secara normal dalam bentuk dan corak yang sesuai dengan hukum alam, baik ukuran, berat, kekuatan, maupun keterampilannya.

Seseorang dianggap dewasa secara inetelektual apabila: a) mampu berpikir secara matang dan logis; b) mempunyai pertimbangan yang tepat; dan c) pengertian mengenai dunia serta dirinya sendiri. Ada juga ahli yang menyatakan bahwa ciri kedewasaan intelektual adalah: a) mempunyai perhatian yang luas; b) usaha yang beragam; c) rencana masa depan yang pasti; d) bersemangat mengenali dunia secara sehat; e) menggunakan waktu luang untuk hal-hal yang berguna; dan f) memperhatikan pengetahuan.

Kedewasaan emosional pada umumnya dijelaskan dari segi positif dan segi negatif. Dari segi positif, ciri kedewasaan emosional adalah mampu mengungkapkan perasaan secara tepat, dalam situasi yang tepat, dan terhadap hal dan orang yang semestinya. Sedangkan secara negatif, kedewasaan emosional ditandai dengan kemampuan mengatur perasaan sehingga pengungkapannya (perasaan) tidak mengganggu/melukai orang lain. Oleh karena itu, ciri kedewasaan emosional secara positif adalah: a) mampu merasakan getaran patriotisme; b) kagum akan keindahan alam; c) hangat dalam bersahabat; d) membenci ketidakadilan; e) takut terhadap bahaya yang sungguh-sungguh mengancam; dan f) malu akan segala bentuk perbuatan yang hina, jijik, atau tidak senonoh.

Kedewasaan sosial mencakup tiga segi: a) mampu memilih apa yang harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat dalam situasi yang berlainan; b) ambil bagian dalam kegiatan bersama yang ragam; dan c) menyadari tanggungjawab terhadap orang lain supaya dapat hidup bersama secara harmonis. Implikasinya adalah: a) tutur kata yang baik; b) berprilaku sopan dan ramah; c) perhatian kepada orang lain; d) dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain; e) mau berkorban; dan f) mampu menyatakan dan melakukan apa saja pada waktu yang tepat serta dengan cara yang tepat.[6]

Ciri kepribadian yang sehat adalah: a) percaya kepada diri sendiri dan orang lain; b) tidak ragu-ragu, tidak malu, dan berani; c) inisiatif berkembang dan tidak selalu merasa dirinya bersalah; d) tidak minder, dan mempunyai semangat yang tinggi; e) bersikap jujur terhadap diri sendiri; f) mampu berdedikasi-penyerahan diri-sendiri; g) senang berhubungan dengan sesama; h) generatifitas/kebapak-ibuan; dan i) integritas.

Ciri integritas seseorang adalah: a) memiliki kontinuitas dalam hidupnya; tidak menyangkal kehidupan masa lalu, dan bergairah memandang ke depan/optimis; b) sanggup memperjuangkan nilai-nilai hidup yang nyata; bukan seorang penjual diri/oportunis/pengkhianat; dan c) berani memimpin/bertanggungjawab; berani menanggung risiko; mempunyai jiwa kepemimpinan; dan hidup dianggapnya sebagai tantangan.[7]

C. Karakter Dasar Manusia

Manusia adalah makhluk yang unik; setiap pemikir menjelaskannya sesuai dengan “paradigma” dan dimensi keilmuan yang ditekuni masing-masing pemikir. Dalam filsafat, manusia didefinisikan sebagai hewan yang berpikir (al-insan hayawan nathiq). Oleh karena itu, terdapatlah kaidah bahwa manusia adalah homo homini lupus (saling menerkam; dan yang kuat menaklukan yang lemah). Sedangkan dalam bidang lain, manusia adalah makhluk budaya, kreatif, inovatif, dan seterusnya.[8]

Dalam Islam, manusia adalah ciptaan Allah yang terbaik (ahsan al-taqwim), berperan ganda: hamba Allah (‘abd Allah) dan khalifah secara sekaligus; dan makhluk yang paling dimuliakan. Akan tetapi, keyakinan dan 'amal' yang menentukan kualitas hidup mereka.

Dalam konteks pendidikan karakter, sejumlah ahli telah menyusun karakter dasar manusia. Paling tidak, Musfiroh menginformasikan tiga versi mengenai karakter dasar manusia.

Pertama, karakter dasar manusia versi Herritage Foundation adalah: 1) cinta kepada Allah; 2) tanggungjawab, disiplin, dan mandiri; 3) jujur; 4) hormat dan santun; 5) kasih saying, peduli, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan renda hati; dan 9) toleran, cinta damai dan persatuan.[9]

Kedua, karakter dasar manusia versi Character Count USA adalah: 1) dapat dipercaya (trustworthiness); 2) rasa hormat dan perhatian (respect); 3) peduli (caring); 4) jujur (fairness); 5) tanggungjawab (responsibility); 6) kewarganegaraan (citizenship); 7) ketulusan (honesty); 8) berani (courage); 9) tekun (diligence); dan 10) integritas; dan ketiga, karakter dasar manusia versi Ari Ginanjar adalah: 1) jujur; 2) tanggungjawab; 3) displin; 4) visioner; 5) adil; 6) peduli; dan 7) kerjasama.[10]

D. Karakter Sukses

Masyarakat berbeda-beda dalam menentukan kesuksesan; namun demikian, terkadang terbentuk opini yang bersifat “umum” yang menandakan sukses (baca: orang sukses). Di Indonesia, masyarakat pada umumnya mengukur kesuksesan berdasarkan tiga hal: 1) kekayaan (harta); 2) kedudukan (tahta); dan 3) pasangan (“wanita”). Opini tersebut kadang-kadang berdampak positif di masyarakat.[11]

Probosuseno (2008) menginformasikan bahwa tanda-tanda pribadi yang sukses adalah: 1) kerja keras (working hard); 2) kerja cerdas (working smart); 3) menunjukan kegairahan (demonstrating the enthusiasm); 4) memberikan pelayanan (giving service); 5) kerendahan hati (modesty); 6) mampu menyesuaikan diri (adaptive); 7) pengaturan waktu (timing); dan 8) beraktivitas (activity).[12]

Di samping itu, Probosuseno juga menginformasikan dua pandangan mengenai tanda-tanda pribadi yang sukses: Pertama, Harry T. Oshima (ekonom Jepang) berpendapat bahwa tanda-tanda pribadi yang sukses adalah: 1) rajin; 2) pengabdi; 3) berwatak sempurna; 4) bertanggungjawab; 5) berhati-hati; 6) serba bisa; 7) daya pembaruan; 8) mampu bekerjasama; dan 9) bergairah dalam belajar serta berketerampilan).

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pribadi sukses ditandai dengan selalu dimilikinya: 1) sifat student (selalu suka belajar; menjadi pembelajar sejati); 2) sifat worker (mengamalkan apa yang diketahui dengan sungguh-sungguh, dan terus belajar melalui pengalaman); dan 3) sifat teacher (guru; yang mau dan mampu menjadi pencerah, penyebar kasih-sayang ke masyarakat sekitar, dan selalu meningkatkan (up grade) ilmu yang dikuasainya. S-W-T merupakan siklus yang berjalan secara sinambung dan terus-menerus.[13]

Syarif menjelaskan tiga dimensi pribadi yang unggul: pertama, memiliki penampilan yang terbaik (the best apperarance) yang di dalamnya terkandung: 1) bersikap optimis, dan 2) ekspresi wajah dan [bahasa] tubuh; kedua, memiliki the best attitude (sikap terbaik) yang mencakup: 1) berpikir positif, dan 2) proaktif; dan ketiga, the best achivement [prestasi yang luar biasa] yang mencakup: 1) outstanding result [di atas rata-rata], dan 2) extra ordinary process (luar biasa [bukan sekedar biasa-biasa saja]). Oleh karena itu, keunggulan seseorang bukan ditentukan oleh bakat, posisi, jabatan, dan harta; tetapi ditentukan oleh penampilan, sikap, dan prestasi.[14]

E. Peran Lemabaga Pendidikan dalam Membentuk Karakter Bangsa

Pengembangan karakter dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai dasar (antara lain berupa kasih saying/peduli, kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab, dan rasa hormat) sebagai basis bagi karakter yang baik dengan indikator yang berupa pemahaman dan kepedulian pada nilai dasar serta tindakan atas dasar nilai/etika yang berhubungan dengan domain kognitif, afektif, dan perilaku.[15]

Sekolah--sebagai salah satu lembaga pendidikan--menurut hasil penelitian Roeser dkk (2001) dan Gettinger (2001) yang dikuatkan oleh Kuperminc (2001) berperan/berpengaruh dalam pengembangan fungsi-fungsi emosi dan sosial peserta didik; pengaruhnya bukan hanya pada kemampuan akademik dan prestasi belajar, tapi juga pada perkembangan psikososial peserta didik.[16] Dengan kata lain, sekolah--termasuk Perguruan Tinggi--berperan dalam membangun karakter peserta didik.

Menurut sejumlah opini, peserta didik lebih mudah menangkap (baca; meniru) perkataan dan perbuatan buruk yang disimpan dalam ingatannya. Dalam pepatah dikatakan: “seribu kali perbuatan baik, belum tentu diingat; sebaliknya, sekali perbuatan salah, belum tentu dapat dilupakan orang.” Dengan kata lain, nila setitik (kejelekan yang kecil) lebih mudah diingat dan kadang dijadikan “dalil salah” oleh peserta didik dibanding dengan susu sebelanga (kebaikan yang banyak) yang terdapat di lembaga pendidikan.

Peran lembaga pendidikan yang bersifat positif tidak mungkin ditolak; yakni bahwa lembaga pendidikan [termasuk Perguruan Tinggi] berperan dalam pembentukan bangsa yang memiliki keunggulan [kompetitif]. Akan tetapi, peran negatifnya juga harus diwaspadai. Di antara catatan mengenai hal ini dapat dilihat pada beberapa bagian berikut.

Pertama, bagaimana mungkin guru (dan/atau kepala sekolah) dapat disebut pendidik yang berkualitas baik jika murid-murid (mahasiswa) secara umum mengetahui bahwa yang bersangkutan sering mangkal di tempat hiburan malam (baca: dugem); (kasus ini terjadi di Jawa Barat pada tahun 2007).

Kedua, seorang guru mengosongkan nilai mata pelajaran yang diampunya bagi semua siswa (bahkan menurut sumber yang dapat dipercaya, nilai mata pelajaran yang bersangkutan kosong bagi satu angkatan siswa [semua jurusan]); setelah setiap siswa mengumpulkan uang sebesar Rp5000 (lima ribu rupiah), baru nilainya diisi (kasus ini terjadi di Jawa Barat pada tahun 2007)

Ketiga, biro jasa pengetikan komputer di lingkungan kampus tertentu telah berubah fungsi menjadi bank makalah [yang dapat dipesan oleh mahasiswa] untuk dipresentasikan di kelas atas sekedar tugas makalah untuk dikumpulkan dan dinilai oleh dosen. Lebih jauh dari itu, menurut sejumlah informasi bahwa biro jasa pengetikan juga terkadang menawarkan jasa penyusunan karya ilmiah yang berupa skripsi, tesis, dan/atau disertasi.

Keempat, ada dosen yang sangat baik hati dan terasa berlebihan sehingga membimbing mahasiswa dengan membuatkan karya ilmiah mahasiswa yang bersangkutan dengan tarif tertentu.

Kelima, sejumlah mahasiswa mengeluh karena harus mengeluarkan biaya untuk melakukan bimbingan dengan berbagai modus: uang lelah, bimbingan di rumah makan, atau ujian dan bimbingan sambil menginap di hotel tertentu dan/atau memancing di tempat tertentu.

Informasi tersebut masih sebagai "isu" dari segelintir mahasiswa yang datang kepada saya; oleh karena itu, pembuktian guna mendapatkan data yang lebih detail dan mendalam perlu dilakukan dengan penelitian yang memerlukan keberanian tersendiri. Hanya saja, forum ini dimohon waspada agar peran perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa bisa lebih baik lagi dan terus ditingkatkan.

F. Peran Lemabaga Hukum dalam Membentuk Karakter Bangsa

Sebagai negara hukum, Indonesia harus [wajib] menegakan hukum. Unsur hukum adalah: 1) pembuat hukum [terutama legislatif]; 2) penegak hukum [kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan kepenasehatan hukum], dan 3) masayarakat hukum [teutama kesadaran hukumnya].

Secara sosiologis, wakil rakyat di legislatif dan yudikatif masih banyak yang melakukan pelanggaran hukum. Kekurangsadaran hukum mereka sering kali dijadikan "dalil salah" oleh masyarakat untuk tidak taat [baca: melawan] hukum. Berikut ini sejumlah gambaran negatif penegak hukum Indonesia.

Media massa sering menginformasikan mengenai wibawa penegak hukum pada umumnya; wartawan ditugaskan untuk mencari dan membuat berita yang menarik agar "diminati" oleh publik. Hanya saja, kriteria menarik "tidak/kurang jelas" ukurannya.

Pada tanggal 24 Desember 2008, terdapat berita yang cukup "memojokkan" penegak hukum di Indonesia; yaitu laporan wartawan yang berjudul "Jaksa dan Hakim Baku Pukul di Poso." Dalam berita tersebut diinformasikan bahwa insiden di pengadilan terjadi karena ketidakpuasan pihak-pihak terhadap putusan hakim.

Insiden yang berupa penusukan seorang pengunjung sidang oleh pengunjung lainnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terjadi karena pihak penusuk tidak puas atas vonis hakim.[17] Pernyataan ini secara tegas menyebutkan bahwa vonis putusan hakim berkedudukan sebagai pemicu terjadinya ketidakpuasan pengunjung; dan ketidakpuasan pengunjung malahirkan penusukan. Oleh karena itu, putusan hakim yang tidak memuaskan menjadi pemicu lahirnya kekerasan di pengadilan.

Selanjutnya, dalam laporan tersebut ditulis bahwa jaksa dan hakim di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, terlibat baku hantam setelah Majlis Hakim PN Poso menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi pembobolan dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Poso.

Sebelum baku hantam terjadi, dua jaksa, yakni TPdan DZ, keluar dari ruang sidang ketika ketua majlis Hakim, yakni ML, membacakan putusan bebas terhadap terdakwa yang bernama LL. Dua jaksa dan enam jaksa lainnya melampiaskan kemarahan mereka dengan cara mendatangi ruang kerja salah satu anggota majlis hakim, MNI. Di ruang tersebut, para jaksa mempertanyakan vonis bebas dengan suara penuh emosi.

MNI tidak menerima perlakuan tersebut dan balik memarahi para jaksa; hampir terjadi baku hantam di antara mereka, tetapi penjaga keamanan berhasil melerai, dan jaksa yang bernama DZ dibawa ke luar dari ruang kerja hakim. Namun tidak lama kemudian, para jaksa kembali lagi dan kali ini yang didatangi adalah ruang kerja ketua PN Poso. Di ruang tersebut, ketua PN menjelaskan argumentasi vonis bebas yang dipertanyakan; tidak terima dengan alasan yang dijelaskan, jaksa, TP, memarahi majlis hakim di ruang tersebut.

Perbuatan jaksa disambut dengan kemarahan para hakim dengan menyeret dan mendorong TP keluar dari ruang ketua PN Poso. Aksi dorong tersebut disambut lagi dengan aksi dorong oleh para jaksa. Aksi baku pukul antara hakim dan jaksa terjadi; dan penjaga keamanan pengadilan juga ikut memukul jaksa. Baku pukul berlanjut sampai akhinya para jaksa berhasil diusir dari PN Poso. Salah seorang hakim bahkan menantang para jaksa berkelahi dengan mengatakan: "Kalau bernai, buka baju; dan satu lawan satu!" [18]

G. Wibawa Penegak Hukum dan Perbuatan Contempt of Court

Contempt of Court (penghinaan terhadap peradilan) biasanya didefinisikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap, dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan[19] yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh pengunjung sidang atau penasehat hukum. Oleh karena itu, comtempt of court pada umumnya ditujukan bagi pihak yang bukan berkedudukan sebagai penyelenggara peradilan.[20]

Dalam konteks "baku pukul" antara hakim dan jaksa, maka yang pertama layak disebut sebagai pihak yang melakukan penghinaan terhadap badan peradilan karena dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman, adalah pihak jaksa. Akan tetapi, pernyataan ini perlu didukung oleh bukti di lapangan agar tidak memvonis bersalah secara sepihak.

Apapun alasannya, "insiden di Pengadilan Negeri Poso" pada akhir tahun 2008 telah mencederai dua institusi hukum: Mahkamah Agung dan Kejaksaan. Secara akademik, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk penghinaan terhadap peradilan adalah: a) berprilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court); b) tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court order); c) menyerang integritas dan impartialitas—ketidakberpihakan--pengadilan (scandalising the court); d) menghalangi jalannya sidang peradilan (obstructing justice); dan e) perbuatan-perbuatan lainnya yang berupa penghinaan terhadap peradilan yang dilakukan melalui publikasi/pemberitahuan di media (sub-judice rule).[21]

Perbuatan yang berupa "perkelahian" antara hakim dan jaksa di PN Poso, bagaimanapun lebih dari penghinaan terhadap peradilan. Hal itu menunjukkan bahwa emosi (dalam artian negatif) penegak hukum--hakim dan jaksa--tidak terkendali. Jika ini benar, maka penegak hukum yang demikian berarti memiliki kepribadian yang kurang stabil, dan/atau mentalnya tidak seimbang. Pihak yang rusak bukanlah hanya yang melakukannya, tetapi wibawa peradilan dan kejaksaan juga ikut terbawa rusak.

Jika dilihat dari segi proses penyelesaian sengketa di peradilan, sebetulnya masih ada saluran untuk lanjutan dalam rangka membuktikan kebenaran kasus tersebut, yaitu kasasi. Oleh karena itu, jalur yang paling wajar yang seharusnya ditempuh oleh pihak jaksa adalah kasasi, bukan bertengkar di kantor Pengadilan. Sebaliknya, para hakim dan/atau pengadilan tidak perlu "meladeni" para jaksa yang sedang marah. Jalan yang terbaik yang sebaiknya ditempuh oleh pihak pengadilan adalah menghubungi pihak keamanan/kepolisian guna mendapatkan perlindungan; bukan malah menantang untuk berduel, berkelahi satu lawan satu.

H. Karakter Bangsa dalam Pendekatan Islam Indonesia

Dalam agama Islam, karakter dasar manusia adalah tauhid; secara akademik, tauhid adalah pandangan keagamaan yang berkaitan dengan "pemahaman" mengenai hubungan Allah dengan ciptaan-Nya, yaitu alam dan manusia. Ilmu tauhid berisi tentang ajaran mengenai keesaan[keadilan]-sifat Allah, manusia, dan alam.[22] Salah satu perdebatan akademik yang tidak "pernah selesai" adalah tema "takdir dan ikhtiar."

Dalam ajaran agama (baca: Islam), telah dikenalkan ajaran akhlak. Akhlak (آخلاق) berasal dari kata khalaqa (خلق) yang berarti “menciptakan” yang berhubungan dengan Allah sebagai “Pencipta” (خالق) dan manusia sebagai makhluk (مخلوق). Secara sederhana, akhlak berarti etika “hubungan” antara manusia dengan Allah SWT. Secara akademis, akhlak dibedakan menjadi dua: a) akhlak yang terpuji (muhmudah), dan b) akhlak yang tercela (madzmumah).

Salah seorang pemikir Muslim secara metaforis menggambarkan akhlak sebagai “atap” sebuah bangunan; tauhid sebagai fondasi atau asasnya; dan rukun Islam sebagai tiang-tiangnya. Oleh karena itu, dalam trilogi keislaman (yaitu iman, islam, dan ihsan), akhlak (yang tampak secara empiris) berada dalam dimensi ihsan. Akhlak adalah buah (jika dianalogikan dengan pohon dari akar (iman) dan pohon dengan daun yang rindang (islam). Akhlak yang baik adalah buah dari pendalaman dan penghayatan iman dan islam yang baik; sebaliknya, akhlak tercela adalah buah dari pendalaman dan penghayatan iman dan islam yang kurang baik; agama (baca: Islam) memerintahkan agar beragama dengan baik dan kaffah.

Barang kali perlu diingatkan kembali bahwa bagi umat Islam, Indonesia adalah negara Islam; salah satu buktinya adalah keputusan Koferensi Alim-Ulama (pada tahun 1945) yang menetapkan bahwa negara Indonesia merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dan kekuasaan sebelumnya yang berbentuk sayyidina panatagama berlaku pula bagi negara Indonesia; dan presiden RI adalah waliy al-amr al-dharuri bi syawkah (kekuasaan temporer yang bersifat de facto).[23] Oleh karena itu, bagi ulama Indonesia, membela dan membangun Indonesia merupakan bagian dari perintah agama.

Sebagai salah satu agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, Islam semestinya mendapat tempat yang layak guna menanamkan nilai yang berguna bagi kehidupan bangsa. Fondasi kehidupan umat Islam adalah tauhid yang berisi ajaran tentang: 1) iman (faith); 2) taqwa (piety); 3) amanah (trust); 4) ibadah (worship); 5) khilafah (vicegerent); 6) umah (community); dan 7) akhirat (the day of reckoning); Bagian tiang-bangunan adalah: 1) shalat; 2) zakat; 3) puasa; 4) haji; dan 5) akhlak; dan bagian atap-atas bangunan adalah: 1) perilaku sosial; 2) perilaku politik; dan 3) perilaku ekonomi.[24]

Bandingkan dengan apa yang telah dilakukan di perguruan tinggi; pelajaran mengenai tauhid (akidah), syari'ah, dan akhlak sebagai fondasi-bangunan yang menopang program studi tertentu (mis: pertanian, peternakan, teknologi komputer, dan yang lainnya) sudah diajarkan secara benar dan baik, mendapatkan porsi waktu yang cukup, atau mendapat dukungan yang memadai dari pihak pengelola universitas. Hal inilah yang perlu dipikirkan guna membangun bangsa yang lebih baik.

I. Penutup

Manusia utama (fadhilah) dalam pandangan al-Farabi dalam karyanya, Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, manusia yang memiliki ilmu dan setia-konsisten dengan berpegang teguh pada ilmunya. Sedangkan tipe yang lainnya, adalah manusia jahilah [bodoh-terbelakang] dan fasiqah [memiliki ilmu dan tidak setia-konsisten dengan tidak berpegang teguh pada ilmunya]. Manusia utama [fadhilah] adalah manusia yang seharusnya menjadi profil lulusan setiap lembaga pendidikan. Wa Allah a‘lam bi al-shawwab.



[1] Sikap antara lain mencakup: a) keinginan untuk melakukan sesuatu yang terbaik; dan b) kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alas an moral.

[2] Perilaku antara lain mencakup: a) jujur dan bertanggungjawab; b) mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan; dan c) komitmen untuk memberikan kontribusi terhadap komunitas dan masyarakatnya.

[3] Pendapat Battistich (2008) yang dikutif oleh Musfiroh. Lihat Tadkiroatun Musfiroh “Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter,” dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 27.

[4] Kepribadian juga dijelaskan dalam studi antropologi. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kepribadian adalah "cirri-ciri watak yang konsisten sehingga memiliki identitas yang khas;" dan unsur kepribadian adalah: a) pengetahuan; yaitu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar yang diterima melalui pancaindera serta alat penerima lainnya, seperti getaran eter (cahaya dan warna), getaran akustik (suara), bau, rasa sentuhan, tekanan mekanikal (berat-ringan), dan tekanan temikal (panas-dingin); seluruh proses akal manusia yang sadar disebut "persepsi;" persepsi berhubungan dengan "apersepsi," "pengamatan," "konsep" dan "fantasi;" b) perasaan; yaitu suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadaan yang positif atau negatif; perasaan berhubungan dengan emosi; dan c) dorongan naluri; yaitu dorongan yang ditimbulkan oleh organisme (terutama gen) dan pengetahuan disebut "naluri;" kemauan yang sudah merupakan naluri disebut "dorongan;" para ahli memperkenalkan tujuh macam dorongan naluri: 1) dorongan untuk mempertahankan hidup; 2) dorongan seks; 3) dorongan untuk berupaya mencari makan; 4) dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesame; 5) dorongan untuk meniru tingkah laku sesame; 6) dorongan untuk berbakti; dan 7) dorongan untuk keindahan. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996), hlm. 98-104.

[5] F. Patty, dkk, Pengantar Psikologi Umum (Surabaya: Usaha Nasional. 1982), cet. ke-4, hlm. 332-333.

[6] Ibid., hlm. 333-334.

[7] Ibid., hlm. 335-336.

[8] Pandangan dasar mengenai manusia: a) manusia adalah makhluk jahat dan diperbudak oleh kehendak penguasa dan Negara (Machiavelli); b) manusia adalah makhluk yang tidak rasional dan emosional (Max Wber); c) manusia adalah makhlus yang malas (Frederick W. Taylor); d) manusia adalah mahluk sosial (Elton Mayo); dan e) manusia bukanlah makhluk baik dan juga bukan makhluk buruk (menurut ahli ilmu perilaku modern [?]). Lihat Miftah Thoha, Peilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008), hlm. 24-25.

[9] Menurut Amini, pencetus gagasan mengenai sembilan pilar karakter adalah Megawangi (1999). Lihat Mukti Amini, “Pengasuhan Ayah-Ibu yang Patut: Kunci Sukses Mengembangkan karakter Anak,’ dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 110-111.

[10] Musfiroh “Pengembangan Karakter,” hlm. 27.

[11]Syarief membandingkan pandangan bangsa-bangsa di dunia mengenai pribadi execellence. Masyarakat China berpendapat bahwa terdapat tiga syarat untuk menjadi pribadi yang excellence: 1) Shio; umur yang panjang; 2) Hok; harta yang banyak; dan 3) Lok; kekuasaan yang tinggi. Masyarakat Amreika berpendapat bahwa terdapat tiga syarat untuk menjadi pribadi yang excellence (3P): 1) power; kekuatan; 2) position; kedudukan; dan 3) property; mempunyai kemampuan finansial yang memadai; dan masyarakat Indonesia berpendapat bahwa terdapat tiga syarat untuk menjadi pribadi yang excellence (3TA): 1) harta, 2) tahta, dan 3) wanita. Lihat Reza M. Syarief, Life Excellence: Menuju Hidup Lebih Baik (Jakarta: Prestasi. 2008), cet. ke-4, hlm. 7.

[12] Probosuseno, “Meretas Pola Hubungan Kakek-Nenek dan Cucu dalam Mengembangkan Karakter Anak,” dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 60.

[13] Ibid. Linawati (2008) menjelaskan bahwa tanda-tanda anak yang berkarakter adalah bersifat: 1) fleksibel; 2) terbuka; 3) tegas; 4) mempunyai rencana; 5) percaya diri/mandiri; 6) toleran; 7) disiplin; 8) berorientasi ke depan; dan 9) bertakwa. Lihat Sri Lestari Linawati, “Pola Hubungan Ideal Anak-Pendidik untuk Pengembangan Karakter Anak: Meretas Hubungan Ideal Pendidik dan Anak untuk Pengembangan Karakter Anak,” dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 101-102.

[14]Syarief, Life Excellence, hlm. 7-16.

[15] Anita Yus, “Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek,” dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 94.

[16] Rita Eka Izzaty, “Peran Aktivitas Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak sejak Usia Dini,” dalam Arismantoro (peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY dan Tiara wacana. 2008), hlm. 19.

[17]"Jaksa dan Hakim Baku Pukul," Media Indonesia, 24 Desember 2008, hlm. 12.

[18] Ibid.

[19]Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, angka 3, paragraf 3. Akan tetapi, penjelasan ini ditiadakan dalam Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, baik dalam batang tubuhnya maupun dalam penjelasannya.

[20]Lihat Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilam Mahkamah Agung RI. 2002), hlm. 5-6.

[21]Ibid., hlm. 8-9.

[22] Lihat antara lain Abd al-Jabbar Ibn Ahmad Ibn Khalil Ibn Abd Allah al-Hamadani al-Asad Abadi, Syarh al-Ushul al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah. 1965).

[23]M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1994), cet. ke-1, hlm. 269.

[24]Ros Hanifa, "Social Reporting Disclosure: an Islamic Perspective," dalam Sofyan Syafri Harahap (ed), Indonesian Management and Accounting Research (Jakarta: Universitas Trisakti. 2002), hlm. 134.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SMS Gratis